Extra Story - Camellia
00.06
SIDE STORY OF MAIDA YORK
CAMELLIA
Oleh : Erwina
Camellia - Awal
Tengah malam dengan
bulan purnama bersinar terang ,dan awan nakal yang kadang menghalangi sinarnya.
Seorang wanita dengan jubah lusuh berlari sekuat tenaga, dibelakangnya terlihat
dua orang dengan jubah hitam mengejar wanita itu dengan cepat.
“PENYIHIR ES
CAMELLIA! KAU TAK AKAN BISA KABUR!” kata salah satu orang berjubah hitam
berambut merah dengan suara lantang. Gerakan mereka sangat cepat, tapi wanita
yang diketahui bernama Camellia itu juga terus berlari.
“Tidak apa
Camellia, kau bisa, kau pasti bisa!” pikir
wanita itu, memberikan sugesti pada dirinya sendiri agar terus berlari dan tak
perlu takut dengan apa yang ada dibelakangnya.
Bara api menyala di
tangan kanan pria berambut merah, dan menembakkan bola api kearah Camellia,
wanita itu terpaksa melompat dan mengubah arah larinya ke kanan, menuju ke
hutan yang bagian ujungnya adalah tebing tinggi yang langsung terhubung dengan
laut.
Camellia tidak
beruntung, dalam waktu singkat dia terpaksa berhenti begitu tahu yang ada
didepannya adalah laut, dia berdiri di tebing tinggi yang juga merupakan hutan.
Dua pengejar yang mengikuti Camellia juga berhenti, nampak senang karena buruan
mereka tak bisa kabur lagi.
“Ikutlah dengan
kami, jika kau menurut kami tidak akan membawamu secara paksa,” kata salah satu
pengejar yang wajahnya tidak tampak dengan jelas karena sinar bulan tertutup
oleh awan dan rambut berwarna putih.
“Jika aku di sana,
lambat-laun aku juga akan mati,” Camellia melirik kebawah, terlihat ombak deras
menghantam bebatuan, siapapun yang mencoba terjun pastilah tak akan selamat.
“Raja kami adalah
orang yang paling bijaksana. Dia akan memberikan kita kebebasan!” pria dengan
rambut putih tampak tak terima dengan perkataan Camellia.
“Kalian bodoh?!
Bagaimana orang seperti itu bisa menjadi raja. Kalian lupa apa yang sudah dia
perbuat!” Kata Camellia sama emosinya.
“Cukup,” kata pria
merak yang awalnya ingin berunding. “Raja memang meminta kami untuk membawamu.
Tapi jika kau tetap tak mau, maka kami akan membawamu secara paksa,” bola api
kembali keluar dari tangan kanannya dan dilemparkannya kearah Camellia.
Wanita itu
membisikkan mantra sebelum sebuah tameng transparant berada di sekitar
tangannya, menepis api yang menuju kearahnya sampai api itu terpenal ke bawah.
Api yang berubah haluan langsung membuat ledakan kecil di tanah yang kini
dipijak oleh Camellia, membuat tanah tersebut mulai retak dan longsor dengan
cepat.
Camellia yang
memijak tanah itu berusaha untuk loncat agar tak terjatuh, namun alangkah
kagetnya api biru telak mengenai pundak kanannya, menyebabkan badannya oleng
dan membuatnya jatuh ikut bersama tanah yang retak.
Dia terjun bebas
dengan tebing menunggu di bawahnya.
Begitu cepat,
matanya memandang kearah langit gelap yang semakin menjauh. Saat ini yang
Camellia pikirkan adalah rasa syukur karena dia sudah menitipkan buah hatinya
kepada orang itu.
Bagaimana jika
Arthur yang terjun seperti ini, anak itu masih berumur 3 tahun. Dia yakin
suaminya juga akan melakukan hal yang sama jika dia masih hidup. Biarkan Arthur
tanpa perlu memikirkan dia dan suaminya. Dan ketika semua ini selesai, maka
Camellia akan menjemput Arthur lagi, dan hidup kembali sebagai ibu dan anak di
rumah kecil milik mereka.
Dia harus tetap
hidup, jika bukan dia siapa yang akan menjemput Arthur nanti.
“AAAAGH!” teriaknya
keras mengabaikan rasa sakit di pundaknya sebelum badannya memutar untuk
memandang ke arah tebing yang semakin dekat. Di saat terakhir tangannya
mengeluarkan kabut tipis yang langsung dia arahkan kedepan.
DHUAK!
*** *** *** ***
Dua pria yang
mengejar Camellia memandang kebawah. Melihat tebing-tebing yang harusnya tajam
itu sekarang patah dengan kristal es menutupinya.
“Apakah menurutmu
dia selamat?” kata si rambut putih, karena dia yakin itu tak mungkin.
“Entahlah,” kata
partnernya walau jelas terlihat bekas dari sihir Camellia di tebing yang
membeku itu, tapi tetap tak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Dia lalu
berbalik dan hendak keluar dari hutan.
“Yang penting kita laporkan ini kepada
raja,” katanya sebelum mereka berdua pergi dari sana.
Camellia - Tengah
Arthur membuka mata
pelan, sensasi empuk dari sebuah ranjang membuat tidurnya lelap, dia bahkan
bermimpi dipeluk oleh mum semalaman. Namun saat si kecil ini bangun, dia
memandang kearah kamar yang begitu asing.
“...M-mum, dad?”
kata Arthur kebingungan dan berusaha turun dari ranjang, menuju kearah pintu
kecil yang diyakini sebagai pintu keluar.
“Oh, kau sudah
bangun?,” Pria bernama Manvred, dengan badan kurus bungkuk dan wajah yang
keriput berdiri di ambang pintu.
Arthur kaget,
melihat pria tua didepannya seperti penyihir jahat yang bungkuk dan biasa
diceritkan oleh mum. Dia lalu menangis keras, takut. “Ada penyihir jahaat,”
serunya sambil menangis kencang.
Manverd yang
dibilang penyihir jahat itu hanya bisa memandang bingung, namun berganti
menjadi senyuman ramah. “Haha aku adalah penyihir yang baik, bukan
jahat,” katanya sembari mendekat ke arah Arthur yang masih menangis,
menepuk pelan kepalanya.
Sesaat Arthur ingat
kepada dad ketika pria itu menepuk kepalanya, dad juga sering melakukan ini,
begitu pikirnya.
Pria itu hanya
memandang Arthur , masih cukup kebingungan bagaimana seorang wanita menitipkan
anaknya dengan buru-buru seperti ini. “Siapa namamu?” katanya mencoba
mencari informasi.
“Arthur...,” kata
pria kecil itu dengan mata yang sudah tak lagi mengeluarkan air mata walau
tetap terlihat basah.
“Umurmu?”
“Tiga...,” katanya
lagi menjawab pertanyaan pria itu tanpa curiga sama sekali.
“Nama keluargamu?”
Manvred terus menanyai.
Arthur kali ini diam,
dia memandang pria itu dengan ragu-ragu . “A-Arthur tidak ingat,” katanya takut
dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
Pria itu menghela
nafas, dia ingin menjelaskan semuanya kepada Arthur tapi apakah anak sekecil
ini bisa menerima hal seperti itu. Arthur kecil kembali ingin menangis sebelum
pria tersebut menggendongnya dan menepuk-nepuk punggungnya pelan.
Dan tak lama Arthur
kembali terlelap.
Manvred hanya diam
saja menyadari Arthur terlelap. Dia pasti masih kekelahan, pikirnya
dalam hati sambil menidurkan kembali Arthur kecil di ranjang, setelah itu pergi
dari sana.
Satu pertanyaan,
kenapa dia bisa terlibat dalam kejadian seperti ini. Manvred meninggalkan
Arthur yang tidur, keluar dari rumah itu menuju kearah hutan untuk mencari
bahan makanan sekaligus melihat lagi tempat dimana dia bertemu dengan wanita
itu, ibu Arthur.
“Tolong
bawa dia pergi jauh dari sini, jangan sampai orang lain menemukannya!”
“Aku Camellia,
ibunya,”
Hanya dua kata itu
yang dia terima sebelum wanita itu pergi, dan baru diketahui ada dua orang lain
yang mengejarnya dibelakang. Arthur kembali ketempat di mana mereka bertemu,
terdapat beberapa jejak kaki baru dan daun-daun rusak berserakan menuju kearah
utara. Manvred mengikuti jejak kaki itu, dan jejak itu berakhir di ujung hutan,
sebuah tebing tinggi yang terhubung dengan laut. Tanpa perlu dilihat dengan
cermatpun, Manvred tahu ada yang janggal di sana.
Ada bekas hangus,
ada juga kristal es yang terlihat belum mencair, ada retakan aneh yang terlihat
masih baru di sekitar tebing, Manvred meneguk ludah sebelum melihat ke bawah.
Sekali lagi dia melihat pemandangan yang tak biasa.
Salah satu tebing
nampak hancur dengan kristal es menyelimutinya, pecah setelah ditubruk oleh
oleh benda yang pastinya cukup besar. Tak tahu apa yang terjadi, satu yang bisa
Manvred simpulkan adalah telah terjadi sesuai di sini, dan itu menyangkut ibu
Arthur.
Apakah dia terjun
dari sini? Apakah dia masih hidup?
Mau dipikir seperti
apapun, Arthur tak akan menemukan jawabannya. Tapi dengan keadaan seperti ini,
berarti Arthur juga dicari. Kalau begitu lebih baik dia segera pindah,
sekaligus membawa Arthur kecil. Pikir Manvred sebelum berjalan kembali lagi
menuju ke rumah gubuk miliknya.
*** *** *** ***
“Uwaa, mawar!” kata
Arthur melihat ke pot berisi banyak bunga yang ditata rapi di atas meja, bunga
mawar berwarna merah dan putih saling terkait di sebuah pot, Arthur melihatnya
dengan kagum.
“Kau suka? Aku yang
merawat bunga mawar itu,” kata Manvred sambil membawa piring berisi omelet
dengan isian cincangan daun bawang yang dia siapkan untuk Arthur. Arthur kecil
memgangguk, di halaman rumahnya dulu juga banyak semak dan bunga, mum yang
selalu merawat mereka. Dan sekali lagi, Arthur teringat oleh Mum dan Dad.
“Kapan mum dan dad
datang? Kenapa aku sendirian disini?” tanya Arthur kepada Manvred, sekali lagi
lelaki itu diam. Tak ingin menjawab pertanyaan itu karena Manvred rasa Arthur
tak akan bisa menerimanya. Arthur kecil yang tak mendapat jawaban mulai
kebingungan.
“Kenapa paman tak
menjawab, dimana mum dan dad?” Arthur mulai tak sabar, mulai berpikir apakah
mum dan dad tak akan pernah menjemputnya lagi.
Sekali lagi tangan
mendarat di ubun-ubun kepala Arthur, tangan Manvred.
“Arthur, ibumu
sedang pergi jauh dan dia tak bisa membawamu,” katanya menjelaskan sesimpel
mungkin agar Arthur tak bingung. Tapi Arthur tak puas hanya dengan jawaban itu.
“Kenapa aku tak di
bawa, apakah mum membenciku?”
Pertanyaan Arthur
membuat Manvred makin terbebani, dia masih belum siap untuk menjelaskan
semuanya. “Makan dulu, sebelum dingin,” katanya sebelum berjalan keluar dari
rumah tua itu, meninggalkan Arthur sendirian.
Arthur diam
memandang kearah omelet yang belum disentuh sama sekali. Dia masih tidak bisa
menerima mum dan dad meninggalkannya. Dan tiba-tiba dia berpikir, mungkin saja
mum dan dad masih ada di sekitar sini, mungkin mereka menguji Arthur apakah dia
menjadi anak baik atau tidak. Didasari oleh pemikiran seperti itu, perlahan
Arthur berusaha turun dari kursi, membuka pintu keluar dari rumah dan pergi
dari sana.
*** *** *** ***
Walaupun terik
matahari cukup terang, tapi hutan terlihat gelap karena sinar matahari tertahan
oleh deretan pohon rindang. Arthur kecil berjalan cukup lama masuk ke
dalam hutan. “Mum, Dad! Di mana kalian?” katanya berteriak sekuat tenaga di
setiap langkah kecilnya. Semakin masuk kedalam pemandangan semakin gelap,
semakin sunyi suasana.Hal seperti ini tentu membuat Arthur makin ketakutan.
Tapi agar bisa
bertemu Mum dan Dad, dia tak masalah berjalan lama.
“Arthur akan jadi
anak baik. Karena itu bawa Arthur bersama kalian,” katanya lagi walaupun
ketakutan,langkah kakinya tah berhenti untuk berjalan maju. Dibelakang dia
mendengar suara semak bergerak, spontan membuatnya melompat kaget kebelakang
dan memandang kearah asal suara, namun ternyata dia melihat seekor tikus
berlari cepat yang ternyata adalah sumber semak-semak itu bergerak.
Hal remeh, tapi
sukses membuat Arthur kecil makin ketakutan.
“Mum, Dad...,” kaki
Arthur terasa capek, entah sudah berapa lama dia berjalan, dia ingin kembali
tapi dia sadar kalau dia lupa dimana letak gubuk paman Penyihir. Ketakutannya
semakin menjadi-jadi begitu angin berhembus kencang membuat dedaunan saling
bergesek berisik. Arthur duduk jongkok sambil menutup telinga dan matanya,
takut, dan berujung membuat anak itu menangis sekali lagi.
Kenapa Mum dan Dad
meninggalkannya, apakah Arthur bukan anak yang baik? Apakah Mum dan Dad sudah
tidak sayang Arthur lagi?
“Arthur tak mau
sendirian, Mum...Dad...,” suaranya lirih, isak tangis Arthur terdengar jelas.
Saat ini, Arthur benar-benar merasa tak memiliki siapa-siapa lagi.
*** *** *** ***
Manvred ceroboh. Dia
meninggalkan Arthur sebentar untuk mengambil rangkaian bunga yang ingin
dia tunjukkan pada anak itu. Namun saat dia kembali betapa kagetnya dia melihat
rumah ternyata kosong. Dan dengan tergupuh-gupuh Manvred berlari mencari
Arthur.
Di sekitar rumah tak
ada siapa-siapa, dia bertanya kepada orang-orang yang lewat juga tidak
mendapatkan informasi apa-apa. Satu tempat yang belum dicari Manvred adalah
hutan, dan itu adalah tempat terburuk dari semua tempat yang ada di dekat
rumahnya.
Saat Manvred sibuk
mencari diapun berpikir, kenapa Arthur pergi? Apakah karena dia tak menjawab
pertanyaan si kecil itu? Sejenak dia berpikir seharusnya dia menjawab,
menyembunyikan kenyataan kepada anak kecil akan berdampak buruk kedepannya. Dia
tahu itu, karena hal itulah yang menyebabkan Manvred kehilangan putri
tercintanya dulu.
“Arthur!” Suaranya
serak mencoba memanggil nama anak itu, umur yang sudah tak muda lagi membuat
Manvred tak bisa berteriak lantang. Hutan tempat yang berbahaya, walau memang
tak banyak tapi ada monster yang hidup di sana, dan anak kecil seperti Arthur
bahkan tak mungkin selamat jika berhadapan dengan monster walau selemah apapun.
Bagaimana kalau
Arthur celaka, bagaimana kalau anak itu tewas didepannya. Dengan pikiran
seperti itu Manvred mulai was-was, dan dia berlari sekuat tenaga sambil matanya
terus melihat ke sekitar.
Di saat inilah samar
dia mendengar suara isak tangis seseorang.
Arthur ?!
Dia berusaha mencari
sumber suara itu, semakin dia melangkah semakin jelas suara isak tangis
tersebut. Dia bahkan tak sempat mencari jalan memutar dan melewati semak
belukar hanya agar bisa sampai lebih cepat. Dan sesuai dengan dugaannya,
sekarang dia melihat Arthur yang menangis dengan keras sambil duduk jongkok dan
membungkuk.
“Arthur!” Teriaknya
tak sabar dan berjalan mendekat pada anak itu.
Arthur kecil
mendongak pelan, melihat dengan jelas wajah Manvred yang penuh keringat dan
menunjukkan ekspresi ketakutan.
Camellia - Akhir
Langit mulai
menunjukkan warna oranye menandakan matahari perlahan akan terbenam. Manvred
menggendong Arthur, membiarkan anak itu bersandar pada pundak dan dadanya.
Sekarang lelaki itu berjalan, hendak pulang ke gubuk miliknya.
“Dengar Arthur,
bukannya aku tak ingin menjawab, tapi aku sendiri kebingungan,” Pada akhirnya
Manvred berusaha menjelaskan semua kepada Arthur kecil yang mendongakkan
kepalanya pelan untuk menyimak.
“Papa dan Mama tidak
meninggalkanmu, mereka hanya menitipkan Arthur ke aku, sampai urusan mereka
selesai,”
“Sampai kapan aku
dititipkan?” kata Arthur berharap kalau itu cuma sebentar.
“Aku juga tak tahu,
pokoknya sampai mereka menjemputmu kembali,”
Kalau begitu pasti
akan lama, pikir Arthur sebelum kembali mendekap pada pundak Manvred yang masih
berjalan.
“Aku sudah janji
akan menjagamu sampai orang tuamu kembali, karena itu...,” Manvred agak tak
yakin dengan perkataan setelahnya.
“Karena itu?” Arthur
bertanya mengenai kalimat selanjutnya.
“Sampai orang tuamu kembali,
aku adalah ayahmu...,”
Hening, Arthur hanya
memandang Manvred yang melihat kearah lain, sebelum akhirnya memandang kembali
ke arah Arthur.
“Ah, atau kau tidak
suka punya ayah Penyihir seperti ini?” Manvred terkekeh walau sebenarnya dia
juga bukan Penyihir.
Arthur langsung
menggelengkan kepalanya cepat, tanda dia tak masalah, dia bukan anak jahat yang
suka membeda-bedakan orang. Arthur memeluk leher Manvred, mendekap lagi
kepadanya, entah kenapa Arthur menjadi manja. Mungkin rasa lega karena mendapat
seseorang yang berperan sebagai ayah membuat batinnya jauh lebih tenang.
Tak butuh waktu lama
untuk sampai ke rumah gubuk. Manvred masih menggendong Arthur, si kecil itu
baru melihat sekitar setelah sampai di dalam rumah.
Dan matanya langsung
tertuju pada rangkaian bunga baru yang ada di atas meja makan. Berwarna merah
muda dan ada juga yang berwarna putih, terlihat seperti mawar tetapi kelopaknya
lebih banyak, diikat menjadi satu dengan dilit oleh kertas hias dan pita
berwarna merah muda. “B-bunga apa itu?” katanya pelan penasaran.
Manvred tersenyum,
“Itu adalah bunga yang menandakan kesempurnaan dan kecantikan yang abadi, bunga
Camellia,”.
Arthur kaget, bukan
karena makna bunga itu yang membuatnya kaget, melainkan nama bunganya.
Camellia, adalah nama Mum.
“Kau suka bunga
itu?” tanya Manvred menyadari kalau Arthur tertarik, sebelum menurunkan anak
itu diatas meja agar bisa menggapai rangkaian bunga Camellia tersebut.
Arthur kecil kembali
menangis, namun mungkin ini adalah tangisan terakhir untuk hari ini. Dia
mengambil rangkaian bunga yang diikat dengan pita berwarna putih sebelum
memeluknya, samar tercium aroma harum yang tak begitu asing, harum yang sama
ketika Arthur berada di pelukan Mum.
Mum, Dad, Arthur
akan menunggu.
*** *** *** ***
12 Tahun
Kemudian
Banyak yang terjadi,
Manvred membuat kesepakatan dengan Arthur bahwa Arthur akan hidup sebagai anak
perempuan pria tua itu, setelah tahu bahwa Arthur dicari-cari oleh orang asing
yang mengaku-ngaku sebagai sanak saudara keluarga Arthur. Manvred mengubah
identitas Arthur menjadi anak gadis Manvred yang meninggal beberapa tahun
silam, Maida York.
Maida sedang sibuk
mengepaki barang di suitcase tua miliknya, beberapa pasang pakaian dan juga
buku bacaan favoritnya wajib menemani kegiatannya nanti di sekolah. Besok dia
sudah harus pergi dari desa untuk bersekolah di sekolah sihir ternama yang ada
Inggris, karena sekolah itu menganut sistem asrama maka Maida harus
meninggalkan rumah untuk sementara. Malam ini dia harus segera membawa barang-barang
yang penting.
“Maida, ini
handuknya...,” kata Manvred yang rambutnya kini mulai memutih semua, memberikan
handuk baru berwarna putih yang langsung diterima oleh Maida.
“Jangan lupakan
seragammu, lalu sikat gigi dan peralatan mandi. Apa kau yakin tak membutuhkan
selimut juga?” Manvred menjadi lebih cerewet mengenai barang bawaan putrinya.
“Tenang saja ayah,
aku rasa setiap kamar asrama akan mendapatkan selimut sendiri. Lagipula selimut
berat, aku tak ingin membawa barang banyak-banyak,” Maida menutup suitcase
setelah memasukkan handuk yang dibawa Manvred tadi.
Rasanya masih tak
rela, memang sudah menjadi rencana awalnya untuk menyekolahkan putrinya itu
karena sekolah umum tak akan mengajarkan sihir lebih dalam, Maida memiliki
bakat dan Manvred yakin bakat itu harus diasah dengan baik. Tapi...berpisah
dengan putrinya setelah 10 tahun lebih...
Maida memandang
kearah Manvred, menyadari perubahan ekspresi ayahnya, Maida tersenyum. “Aku
akan menulis banyak surat untuk Ayah saat sampai, aku juga akan selalu mengunjungi
ayah saat liburan,”.
Menyadari apa yang
ada dalam pikirannya ketahuan, Manvred hanya bisa senyum pasrah. Mendekat pada
putrinya yang sedang duduk di ranjang, mengelus pipinya. “Tak apa, Ayah tak
masalah kau pergi. Hanya saja ayah masih tak percaya kau sudah sebesar ini,”
tangannya merengkuh lembut pundak Maida, memeluknya dengan sayang.
Maida memeluk
punggung pria yang semakin tua itu, sosok Ayah yang membantunya untuk tumbuh,
yang menyayanginya selama ini. Bohong kalau Maida tak akan kesepian
ketika meninggalkan Ayah besok, dia ingin berada di samping Ayah.
Tapi sekolah sihir
adalah gerbang menuju kebenaran yang dia cari. Keberadaan orang tua kandungnya,
dan langkah awal untuk menjadi kuat. Terimakasih kepada Ayah yang sudah
membiayai dirinya selama ini, jika tidak maka Maida tak akan bisa sekolah.
Manvred melepaskan
pelukan mereka, membelai rambut indah putrinya. “Belajarlah yang benar di sana,
ingat akan tujuanmu. Ayah akan selalu mendukung apapun keputusan Maida,”
“Ketika waktunya
tiba, kau akan bertemu dengan keluargamu lagi. Mungkin saat itu kau akan
meninggalkanku,” kata Manvred masih tersenyum, Maida hendak membantah omongan
itu namun terhenti karena Manvred belum menyelesaikan perkataannya. “Walaupun
begitu, bolehkah aku tetap menganggapmu sebagai anakku?” katanya pelan, air
mata seakan hendak tumpah dari kedua mata.
Melihat ayahnya
ingin menangis seperti itu Maida kembali memeluk Manvred, dia juga menahan
tangis begitu mendengar perkataan Ayahnya. “Tentu Ayah, mau apapun yang terjadi,
Ayah tetaplah orang tua yang sudah membesarkan Maida,” Maida mengelus punggung
ayahnya pelan.
Manvred mulai merasa
bodoh, kenapa dia harus menangis di saat seperti ini. Tangisan pelan berubah
menjadi tawa kecil untuk anaknya itu, tak ada yang perlu dia khawatirkan.
Apapun yang jalan yang ditempuh Maida setelah ini, apapun kebenaran yang akan
terkuak di hadapan dirinya dan Maida semua tak akan berpengaruh terhadap ikatan
mereka. Biarkan Maida bertindak sesuai dengan hatinya, karena putrinya ini
hanya ingin mencari kebenaran. Tentang dirinya, dan juga keberadaan kedua orang
tuanya.
Walau sepahit apapun
kebenaran itu.
________________________________________________
N.B : saya menyadari kalau saya salah mencantumkan
umur maida di BG story, karena harusnya 3 tahun haha. Jadi maafkan saya.
0 komentar