Maida York - The Successor
00.04
[ROUND 1 - TEAM D] MAIDA YORK
THE SUCCESSOR
I. Mereka Mulai Bergerak
Malam hari, terlepas dari suara
kemeriahan pesta para prajurit yang ada di wilayah luar kastil, kamar milik raja
terlihat sangat sunyi dan hanya ada satu orang yang sedang berdiri di depan
cermin besar yang setinggi tubuhnya. Dengan topeng emas menutupi wajahnya, pria
itu menatap sebuah cermin. Bukan cermin biasa yang dia tatap, melainkan alat
komunikasi yang menghubungkan dimensi satu sama lain.
“Bagaimana?” Tanya pria dengan topeng
emas dan rambut biru langit kepada pria lain yang ada di seberang.
“Dia lolos babak penyisihan, tuan,”
kata pria dengan rambut perak pendek di
seberang. Di belakangnya terlihat pemandangan dinding kayu dan sebuah ranjang
menandakan dia ada di kamar istirahat.
“Bagus, kapan pertandingan
selanjutnya?”
“Besok pagi, dan sepertinya ini akan
menjadi pertarungan tiap individu dan cukup berbahaya. Apakah saya ikut
dengannya untuk membantu?”
Pria bertopeng berbalik, tidak memberi
jawabannya dan malah berjalan pelan menuju ke arah jendela yang terbuka lebar.
Melihat kembali pesta kemenangan yang dilakukan para prajurit di bawah.
“Tak usah, dia bisa mengatasinya
sendiri. Jangan melakukan kontak apapun dengannya saat ini,” balasnya masih
terdengar oleh pria seberang. Pria bertopeng (yang kita sebut saja sebagai
raja) memang mengirimkan seseorang untuk mengawasi gerak-gerak gadis bernama
Maida York sejak masuk ke dalam kompetisi BoR.
Karena memang dirinya yang mengirim
gadis itu.
“Jadi, bagaimana dengan keadaan di sana?”
Pria yang ada di cermin balik bertanya kepada sang Raja. Pria itu berbalik
setelah melihat pemandangan sebelumnya, kembali mata memandang cermin.
“Berjalan lancar, kami baru saja berhasil
menyerang senat dan pasukannya. Tinggal beberapa langkah lagi.” Walau tak
terlihat, wajah dibalik topeng tersebut tampak senang, puas dengan apa yang dia
lakukan berjalan baik sampai saat ini.
Pria di seberang juga tersenyum,
berpikir betapa gilanya orang yang menjadi atasannya saat ini. Dalam waktu
kurang dari sepuluh tahun, pria ini perlahan berhasil menguasai dunia sihir.
Mulai melakukan pemberontakan dan mengumpulkan beberapa penyihir hebat hanya
untuk satu tujuan.
“Dan tinggal menunggu gadis ini saja
bukan?” Lanjut pria yang ada di cermin tiba-tiba. Tanpa perlu dijelaskan
jawabannya sudah ada dalam benak mereka berdua. Hanya mereka berdua yang tahu,
sebetapa pentingnya Maida York dalam rencana mereka.
Tak butuh waktu lama komunikasi mereka
berdua terputus, cermin yang menjadi alat komunikasi kini kosong memantulkan
sosok raja dengan pakaian kerajaannya. Suasana kamar kembali sunyi,
satu-satunya pria di sana mulai melepaskan jubah yang dia kenakan. Masih
memandang ke arah kaca besar di hadapannya, sang Raja melepaskan topeng yang
menutupi wajahnya.
Paras cantik, dengan warna mata biru
cerah. Mata itu kosong memandang
sosoknya sendiri yang terlihat di cermin. Begitu mirip dengan Maida, tapi juga
berbeda dalam segala bidang.
Melihat wajahnya sendiri, dia merasa
muak.
Telapak tangan dia lebarkan dan
ditempelkannya dengan keras ke arah kaca, tepat di wajahnya. Ingin rasanya
menerkan dan merusak wajah itu sampai tak terlihat lagi di cermin, tapi dia
bisa apa?
Wajah itu adalah miliknya sendiri.
“Sebentar lagi...kau harus bersabar,”
katanya pelan, serak menandakan kebencian. Emosi yang sempat meluap kini
terhenti, memutar tubuhnya untuk menuju tempat tidurnya sendiri.
Saat ini terdapat perbedaan waktu pada
dunia Maida tempati sekarang dengan Battle of Realm. Belum 24 jam dia lalui di
BoR namun di daerahnya sendiri sudah dua hari berlalu, beberapa teman dan juga
ayahnya mulai khawatir dengan menghilangnya Maida selama dua hari ini.
Tapi sampai sekarang, Maida tak tahu
apa yang harus dia lakukan. Yang dia tahu adalah, BoR tempat dimana dia bisa
menemukan jawaban tentang orang tuanya.
***
II. PENJELASAN
Semuanya kembali, dengan sangat bersih.
Bersih yang dimaksud adalah luka-luka
mereka sembuh dalam sekejap. Pakaian yang awalnya sobek dan lecet karena
benturan dengan dinding dan terkena serangan pun tampak seperti baru. Setelah
melewati portal, Maida, Aragon, Wildan, dan Stella sudah tiba di sebuah ruang
istirahat yang ada pada sebuah penginapan.
Mereka bukan yang pertama sampai, ada
sekitar 5 kelompok yang sudah berada di sana dan nampak tegang satu sama lain.
Maida paham, walau mereka sudah berhasil menyelesaikan babak preliminari, tapi
bukan pertanda ini selesai. Lama mereka menunggu sampai akhirnya mereka
terkejut jumlah peserta yang lolos bahkan kurang dari setengah yang ada di
kastil beberapa jam yang lalu. Maida sempat khawatir apa aula sekecil ini bisa
menampung orang sebanyak itu? Namun sekarang dia paham.
Sudah sekitar 30 menit mereka berkumpul dan
terlihat seorang Maid berambut ungu berjalan di hadapan mereka semua.
“Sekali
lagi saya ucapkan selamat atas keberhasilan kalian dalam melewati babak
penyisihan tadi.”
“Perkenalkan, nama saya Anastasia—“
Maida bersama ketiga rekannya hanya
menyimak dalam diam. Ada beberapa perkataan yang membuat Wildan kembali
menyeletuk protes dengan kehadiran seseorang yang tidak seharusnya di sana,
walau Maida sendiri tak mengerti siapa. Yang bisa dia simak adalah ronde
selanjutnya.
“Kalian
harus saling membunuh hingga hanya satu orang yang tersisa...”
Sekujur tubuh Maida langsung merinding.
Bukan hanya dia, mungkin orang yang ada di
sekitarnya juga. Sesaat suasana di Aula menjadi begitu sunyi. Tapi sepertinya
membunuh hanya gurauan, Anastasia menambahkan bahwa ada beberapa kondisi di
mana mereka tak saling bunuh.
Tunggu, berarti mereka tetap juga bisa
saling membunuh.
Setelah penjelasan panjang lebar mengenai
detil Ronde pertama, mereka berempat harus berpisah. Maida saling memandang ke
arah Wildan, Aragon dan Stella. Membungkuk 90 derajat tanda dia sangat
berterimakasih atas bantuan mereka.
“Sampai bertemu lain kali,” kata Wildan
juga mengucapkan salam perpisahan kepada mereka bertiga. Aragon meninggalkan
mereka bertiga setelah menurunkan kepalanya singkat. Sementara Stella
melambaikan tangannya sambil tersenyum manis.
Dan kembalilah Maida sendiri kali ini. Dia
hanya berdiri bersandar pada dinding dan merogoh tas kecil yang terkalung di
pinggangnya. Sampai menemukan sesuatu yang ganjal.
“Ah...Camelliaku.” Dilihatnya tas yang
harusnya penuh dengan sekumpulan jarum miliknya kini hanya tinggal 5 buah.
Pertarungan sebelum ini membuatnya harus menggunakan Camellia dalam jumlah
banyak dan tidak bisa dia ambil kembali. Inilah yang merepotkan dari senjatanya
sendiri.
“Permisi...” Perempuan dengan pakaian Maid
mendekati Maida. Maida menatapnya, sesaat dia merasa pernah bertemu dengannya
sebelum ini tapi kapan—
Baru dia sadari dia adalah Maid yang
menjadi pemandunya saat babak penyisihan.
“A-ah kau!” Maida meninggikan suara, dia
masih ingat benar Maid yang terlihat malas, bahkan dia tidak menjelaskan apapun
mengenai kondisi dan apa yang harus mereka hadapi di babak penyisihan.
Keberadaan Maid itu di sini berarti...
“Kau akan jadi pemanduku lagi untuk kali
ini?” Tebak Maida dengan perasaan tak enak.
Maid itu mengangguk. “Aku adalah pemandu
untuk tim D, namaku Anastasia.”
Maida diam. Kenapa tidak dari awal Maid bernama
Anastasia ini memperkenalkan diri? Dia masih ingat betul bagaimana tim mereka
terbentuk karena perintahnya. Mereka masuk ke gurun tanpa mengetahui apa-apa,
dan kemunculan Tamon Rah yang bahkan tak dijelaskan bagaimana bentuknya. Andai
saja Anastasia menerangkan dengan benar mungkin mereka berempat akan jauh lebih
mudah menyelesaikan babak tanpa perlu harus kerepotan.
Tapi nampaknya Anastasia sama sekali tak
merasa bersalah.
“Ikut aku, anggota tim lainnya sudah
berkumpul.” Anastasia membelakangi Maida. Maida mau tak mau mengikuti, tak
perlu waktu lama mereka berjalan dan dari kejauhan dia melihat empat orang
berkumpul di satu titik.
Seseorang yang cantik dengan bulu-bulu
putih terlihat di sekitar leher dan pipi belakang. Pria dengan kulit kecoklatan
dan bekas luka di wajah yang begitu mencolok. Sosok tinggi dengan jubah coklat.
Pria rambut hijau dengan bantal dan guling.
“Miaww~”
Dan seekor kucing hitam.
“Aku sudah bawa orang terakhir dari tim D,”
kata Anastasia sambil menunjuk Maida. Maida sendiri masih fokus pada kucing
hitam yang lucu sedang sibuk menjilati tangannya. Kucing itu mendongak,
menyadari tatapan dari gadis berambut biru itu.
“Apa yang kau lihat?” Kata kucing itu.
Maida yang awalnya mengira kucing itu
peliharaan seseorang langsung diam saja. Dia lupa di tempat ini apapun bisa
terjadi.
“Baiklah, hari ini aku hanya akan
mengumpulkan kalian. Perlu diketahui kalian dapat kamar istirahat satu kamar
dua orang dan aku yang bertugas membagi.” Anastasia mulai mengambil beberapa kunci
penginapan.
“Pertama-tama, Nobuhisa dengan Yu Ching.”
Pria berpakaian samurai dengan bekas luka di wajah maju bersamaan dengan kucing
hitam.
“Anjir, cing memang kau butuh kamar
penginapan?” Celetuk Nobuhisa menerima kunci kamarnya.
“Kucing juga butuh ranjang, sejak kapan ada
diskriminasi nyaw!” Balas si kucing
sebal dengan perkataan Nobuhisa yang nampak meremehkan. “Dan lagi namaku Yu
Ching, bukan cing!”
“Lah kan bener cing.” Nobu tak merasa ada
yg aneh karena dia memanggil namanya bukan dari singkatan ‘kucing’.
“Bukan cing! Ching! Pakai H kau dengar
samurai muka tua!” Suara pekikan (atau teriakan?) dari Yu Ching membuat Maida
dan seorang lagi menunjukkan senyum.
Kucing kecil itu langsung melompat, mendarat di pundak Nobuhisa lalu
melompat sekali lagi untuk naik di atas kepalanya.
“Lalu Eophi dan Avius.” Pria berjubah
coklat membuka tudungnya. Menampakkan rambut kecoklatan, matanya yang berwarna
tak sama menarik perhatian Maida—cantik, begitu pikirnya.
Sementara seseorang lagi? Mereka saling
memandang sampai menyadari pria dengan rambut hijau sedang tidur ditemani kasur
putih dan selimutnya, tak lupa bantal putih yang menjadi sandaran kepala.
“Ngg—abaikan saja dia, tapi hai kau Avius
nanti bantu kami menyeret Eophi ke kamarnya.”
...
Siapa tadi yang berbicara?
Semua mata melirik sana sini mencari sumber
suara. Sampai akhirnya tertuju pada satu titik, yaitu guling dengan kain putih
yang berdiri tegak di depan pemiliknya yang sedang tertidur lelap.
Mereka ingin menyangkal sesuatu, tapi sekali
lagi apapun bisa terjadi di Battle of Realm. Mengetahui kenyataan itu semua
yang ada di sana kembali diam.
Avius nampak ragu, tak yakin apa sekarang
dia memang berkomunikasi dengan sebuah guling.
“Nanti bantu saja seret White, tidak begitu berat kok!” Tambah
guling itu lagi meyakinkan. Tapi yang membuat Avius makin bingung adalah siapa
si White? Apakah bantal yang dipakai juga bisa berbicara? Avius tiba-tiba
merasa pusing.
Anastasia kembali melanjutkan pembagiannya.
“Dan yang terakhir Apis dengan Maida, kalian akan satu kamar.” Anastasia
memberikan kunci kepada Maida, karena mereka berdua yang terakhir di panggil
maka yang pasti sosok cantik dengan bulu-bulu halus di sekitar lehernya adalah
Apis.
“—maaf, saya keberatan,” Bantah Apis
tiba-tiba.
“Saya
tak bisa sekamar dengan wanita, Saya ini pria...” Tambah Apis, membuat
beberapa orang di sana kaget menyadari bahwa Apis adalah laki-laki berparas
cantik.
Anastasia mengerutkan kening. “Aku sudah
tahu kau adalah laki-laki sejak pertama,” jelasnya tak ingin disalahkan karena
dikira tak becus menangani pembagian kamar.
Arah pembicaraan ini makin membahayakan
Maida.
“Lalu kenapa aku satu kamar dengan nona
Maida? Aku rasa lebih baik dia mendapat kamar sendiri karena dia satu-satunya
perempuan di sini, dia pasti tak nyaman satu kamar denganku.” Apis masih tidak
terima.
“Sudah kubilang, kenapa kau sekamar dengan
Maida tentu saja karena dia—”
“Karena aku tak bisa egois!” Sela Maida
langsung. Ekspresinya terlihat gugup, hampir saja, jika dia tidak menyela
perkataan Anastasia maka kenyataan bahwa dia adalah laki-laki akan terungkap.
“Aku tak bisa egois, aku tahu aku memang
satu-satunya wanita di sini tapi aku harus ikut peraturan. Tenang saja Apis,
aku tak masalah satu kamar denganmu,” kata Maida langsung mengambil alih
percakapan.
Anastasia hanya bisa bengong melihat Maida.
Tak berapa lama mereka saling beradu pandang. Maida melotot memberikan sinyal,
seakan mengatakan...
‘Tolong jangan bicara jujur, tolong!’
***
Pembagian kamar selesai. Sesuai dengan
perintah Maid, mereka bisa beristirahat di kamar masing-masing. Dan sedikit
banyak Maida mulai hapal nama-nama orang yang akan satu arena dengannya. Satu
yang membuat Maida tak nyaman adalah kali ini mereka satu kelompok bukan
sebagai tim, melainkan sebagai musuh.
Tentu menyerang satu sama lain sebelum
ronde di mulai adalah hal yang dilarang, dan dilihat dari semuanya jelas nampak
bahwa mereka tak ada niatan untuk saling bertarung. Kebetulan kamar mereka
saling berjejer, entah disengaja atau tidak.
Maida sendiri masuk ke kamar bersama Apis,
membawa sebuah koper yang sedari tadi tak ada di sebelah Maida.
Ini melegakan.
Sebelum mereka menuju kamar penginapan
masing-masing, Maida betanya kepada Anastasia apakah Maid itu masih menyimpan suitcase yang awalnya dia bawa saat
pertama kali datang kemari. Maida memang menitipkannya kepada Anastasia karena suitcase itu terlalu berat untuk dibawa
bertarung. Untung saja Maid itu masih menyimpannya dan memberikannya kepada
Maida.
Apis membuka pintu penginapan. Terlihat dua
ranjang kecil terletak di pojok ruangan, salah satunya berada dekat dengan
jendela yang ada di dinding kanan. Untungnya jarak kedua ranjang cukup jauh.
“Lihat, tak ada masalah kan,” kata Maida
tersenyum manis. Meyakinkan Apis bahwa tak ada masalah jika mereka satu kamar
seperti ini.
“...baiklah, tapi apa anda yakin tidak
ingin kamar sendiri? Bagaimana dengan privasi yang biasa diucapkan oleh para
wanita?” Apis masih nampak tidak yakin.
“Tak apa-tak apa, aku tak terlalu
mempermasalahkan privasi,” Maida mengibaskan tangannya menyuruh Apis tak usah
khawatir. Karena memang tak ada privasi yang bisa dia jaga karena mereka
sama-sama laki-laki.
Apis memilih ranjang yang berdekatan dengan
jendela. Katanya melihat angkasa membuatnya lebih tenang. Maidapun mengambil
sisi lainnya, dia meletakkan suitcase
tua miliknya di atas ranjang.
Sebelum tidur, ada yang harus dia lakukan.
Maida mengambil kotak yang tertutup di
dalam suitcase, ukurannya cukup
besar. Ketika dibuka terlihat beberapa—mungkin ratusan jarum tertata rapi di
sana. Ya, ini jarum yang merupakan senjatanya. Untung saja sebelum Maida pulang
dia menyuruh Evans untuk membuat banyak jarum untuk persediaan.
Yang perlu dia lakukan adalah membuat
racunnya. Dan di saat seperti ini, kemampuan sebagai lulusan terbaik sekolah
ditunjukkan.
Apis juga sedang menata barang bawaan,
terutama keris miliknya. Awalnya dia tak mau ikut campur urusan Maida.
Namun mendengar suara dentingan barang pecah
belah beberapa kali dari sebelah membuat mata pria cantik itu melirik.
“Uwah!”
Dia terkejut melihat alas laci kecil di
sebelah ranjang sudah penuh dengan tabung-tabung dengan cairan berwarna aneh
saling berjejer dan di panaskan dengan api kecil.
“Apa yang kau lakukan nona Maida?” Kata
Apis penasaran, tabung-tabung itu nampak asing di matanya.
Maida menoleh sambil tangannya sibuk
melumat sesuatu di dalam mortar dengan alu yang dia bawa.
“Ah tak usah hiraukan aku,” kata sang gadis
dengan senyum ramah. Bagaimana Apis bisa tidak menghiraukan. Apis mendekat
melihat beberapa tabung di sana, semua saling terhubung, dan terakhir
menghasilkan tetesan ungu yang ditampung pada tabung terakhir. Apis tak tahu
benda apa yang dipakai, tapi dia tahu kalau cairan yang dihasilkan berbahaya
dari baunya.
“Anda sedang membuat minuman?” Kata Apis
berusaha berpikiran positif.
Maida tertawa geli. “Bukan, mng...ini
racun.”
Apis ingin pergi. Makin menakutkan apalagi
Maida mengatakannya dengan nada malu-malu. Apis hanya tersenyum dan mundur dua
langkah dari tempatnya. “Anda tak berpikir untuk meracuni saya saat sedang
tidur kan?” Katanya memastikan.
Maida menoleh dan tertawa sekali lagi,
mengibas-kibaskan tangan kanannya tanda tak mungkin. Lagipula racun yang dia buat
adalah racun untuk senjatanya, Maida tak mungkin melakukan hal sekejam itu.
Tapi, bukan tanpa alasan dia dijuluki deadly grace di sana.
Kegiatannya masih berlanjut. Setelah racun
yang di perlukan selesai, dia mengontrol cairan itu untuk masuk ke dalam lima
jarum yang dia bawa. Gumpalan-gumpalan air melayang dan menuju ke jarum seakan
tersedot. Hal itu dia lakukan beberapa kali sampai 20 jarum sudah terlapisi
dengan racun berhasil dia buat.
“Selesai...” katanya senang dan menaruh
jarum-jarum itu ke tas pinggangnya. Untungnya dia masih ada waktu untuk
bersiap-siap. Dia bukan petarung yang handal, senjata yang dia punya juga bukan
untuk membunuh tapi untuk melindungi diri. Saat babak penyisihan tadi dia pasti
tak akan berhasil jika tidak ada mereka bertiga yang membantu.
Tapi kali ini dia sendiri, dia harus
bertarung bersama 5 orang yang lain.
Renungan Maida hilang setelah Apis kembali
dari luar beberapa saat yang lalu. “Ah
nona Maida kebetulan, Anastasia ingin kita turun untuk menyantap makan malam di
sana,” kata Apis—dia juga lega sepertinya kegiatan Maida yang tadi sudah
selesai terlihat dari tabung-tabung yang sudah kosong.
“Tunggu sebentar.” Maida buru-buru
membereskan tabung-tabungnya yang sudah bersih karena dia menarik semua cairan
yang ada di dalam tabung. Tak butuh waktu lama dia keluar dengan Apis yang
menunggu. Saat baru melangkah, pintu di depan mereka terbuka.
Maida dan Apis berhenti, dan dilihatnya
jubah kecoklatan perlahan muncul. Munculnya sangat lama, sampai mereka berdua
tahu kalau ternyata itu adalah Avius—yang sedang menyeret sebuah kasur putih
dengan Eophi yang tidur di sana.
“Terus-terus! Kau pasti bisa pria baik!”
Terdengar suara orang lain tapi Maida dan Apis tak tahu darimana asalnya. Avius
sendiri terus menarik sekuat tenaga terlihat kesusahaan.
“Tuan Avius, mau kubantu menyeret?” Kata Apis sambil tersenyum kasihan.
Avius menoleh begitu sadar ada dua orang
lain di sana. Dia mengangguk, ekspresinya menandakan kalau dia tak kuat
melakukannya sendirian—tetapi dia tidak bisa menolak juga, pada dasarnya Avius
memang pria yang baik hati.
“Heh, dasar pria lemah! Menyeret seperti ini
saja kau tak kuat!” Suara asing lain terdengar, namun kali ini terlihat kalau
guling yang ada di sebelah Eophi bergerak-gerak. Apis dan Maida sekali lagi
merasa kasihan dengan kejadian ini.
Pada akhirnya mereka bertiga menuju ruang
makan dengan menarik Eophi yang masih tidur di kasur dengan nyenyak.
***
Kamar mereka ada di lantai dua, sementara
ruang makan ada di lantai satu. Dengan sekuat tenaga mereka bertiga berhasil
mengangkat kasur Eophi ke ruang makan yang penuh dengan peserta lainnya.
Maida yang ikut membantu mengangkat juga
kelelahan. Memandang sekitar, dia bisa melihat Wildan dan Stella di meja yang
agak jauh, saling melambaikan tangan singkat. Maida membalas dengan senyuman,
dia tidak bisa mampir karena menyeret Eophi. Apis melihat kesana kemari dan dia
menemukan Nobuhisa duduk di depan meja persegi dengan taplak putih yang masih
kosong.
“Woi, lama sekali,” gerutu Nobuhisa di
sana. Yu Ching sendiri sudah asik menikmati susu di mangkuk kecil, meminumnya
layaknya seekor kucing.
“Kami...berusaha...cepat...” Terdengar
nafas memburu dari ketiga orang yang menggotong Eophi. Memang Eophi ringan,
tapi menuruni tangga membuat kaki mereka bertiga mendapat beban dua kali lipat
dari biasanya. Sekarang Maida jadi semakin kasihan dengan Avius, tadi yang membawa
Eophi ke atas hanya dia.
Dan begitulah, pada akhirnya mereka
menyantap makanan yang di sediakan. Sementara Eophi masih tidur pulas
dikasurnya yang ada di bawah.
Enak? Tentu saja, beberapa daging dan
jamuan seperti roti perancis, salad dan sup krim di sediakan di atas meja, tak
lupa kalkun utuh yang dipanggang dengan aroma manis seperti madu. Khusus untuk
Yu Ching ada susu hangat yang di taruh di dalam mangkuk. Nobuhisa makan dengan
lahap, mengambil bagian paha dari kalkun panggang. Tanpa mengatakan apapun
terlihat mereka bertiga satu suara kalau jamuan yang di dapat lezat.
Anastasia sigap menuangkan air minum ke
gelas tim yang menjadi tanggung jawabnya. Entah kenapa Anastasia terlihat
berbeda, awalnya dia nampak malas-malasan saat babak penyisihan. Namun kali ini
dia bersikap layaknya seorang pelayan yang bertanggung jawab.
Maida melirik Anastasia, masih heran. Maid
yang masih memegang cawan kaca sadar di pandangi.
“Ada masalah, Maida?” Katanya merasa risih
dipandangi.
“Tidak, kau berubah. Setahuku saat pertama
bertemu kau nampak tak peduli dengan kami.”
“Tentu saja, karena kemarin aku hanya
mengurusi sampah. Aku tak perlu menghargai orang yang belum tentu masuk sebagai
peserta,” balasnya dengan mendengus.
Maida langsung teringat kalau Maid itu tidak terlalu berubah, selalu terus
terang.
“Ngomong-ngomong soal itu...” Avius berkata
setelah menelan benar-benar makanannya.
“Apa yang terjadi dengan orang-orang yang
lain yang tidak lolos?” Pertanyaan itu mewakili mereka—tidak, bahkan semua
orang. Sudah ada yang bertanya saat mereka pertama sampai, tapi tak ada jawaban
dari Maid bernama Anastasia.
“...tentu saja lenyap,” balas Anastasia.
“Maksudmu lenyap?”
“Tak ada lagi di dunia ini, hanya itu yang
bisa kukatakan.”
Jawaban Anastasia malah membuat mereka
bertanya-tanya. Lenyap yang berarti mereka kembali ke dunia mereka, atau lenyap
yang berarti...
Mati?
“...Ah, waktunya makan?” Eophi terbangun
dari tidur dan mengucek matanya pelan, mengumpulkan kesadaran. Kelima orang
yang sedang makan memperhatikan. Sejak pertemuan pertama sampai sekarang, ini
kali pertama Eophi membuka mata. Pemuda berambut hijau itu langsung duduk di
kursi yang kosong.
“Tidurmu nyenyak?” Kata Nobuhisa sok akrab.
Eophi hanya mengangguk dengan sorot mata yang terlihat masih mengantuk. Dia
melihat ke arah makanan yang disediakan dan tangan kanan terulur untuk
mengambil pasta yang tak jauh dari jangkauannya.
Acara makan selesai, Anastasia sigap
membersihkan makanan mereka. Bukan dengan cara yang normal, karena dia
tiba-tiba dia membungkus piring kotor dan gelas yang tergeletak dengan taplak
putih, mengikatnya layaknya karung. Satu jentikan jari dan karung besar itu
hilang membuat meja kayu mereka bersih sekarang.
“Sebelum kalian pergi ke kamar kalian, aku
akan menjelaskan mengenai arena besok pagi.” Anastasia mengibaskan telapak
tangannya dan muncul layar proyeksi hologram di atas meja mereka. Terlihat di
layar kumpulan bangunan besi terbengkalai.
Sepi, tak ada tanda-tanda kehidupan di
sana. Rintik hujan mengguyur tempat itu dan tak ada pertanda untuk berhenti.
Benda-benda asing dengan balutan besi dan cahaya-cahaya kebiruan terlihat di
sana-sini. Tapi yang paling mengerikan dari itu semua adalah kilatan cahaya
yang turun, menghanguskan tanah yang menjadi tempat landas.
“Verdana Power Plant, tempat ini melayang
di atas langit Alforea. Luasnya hanya sekitar tiga kilo.”
Anastasia menjelaskan bahwa tempat itu
seharusnya menjadi pusat energi Alforea, namun karena adanya hujan laser yang
bisa membahayakan semua orang, pulau ditinggalkan.
“Tabung generator ini akan berfungsi
sebagai nyawa kalian.” Dia memperlihatkan tabung silinder yang ukurannya kurang
lebih seperti tas punggung Maida, memberikannya di depan 6 orang ini. “Jika
energi pada tabung generator ini habis atau hancur, maka kalian dianggap
kalah.”
Maida memperhatikan tabung miliknya,
terdapat indikasi dengan balok-balok persegi yang saling berbaris. Sepertinya
tabung itu belum diisi oleh energi.
“Aku akan mengisi energinya saat kita
sampai di sana. Energi itu akan habis seiring berjalannya waktu, namun kalian
bisa mengisinya lagi di sini.”
Layar proyeksi berubah, memperlihatkan
sebuah tabung besar yang ada di tengah-tengah pulau memancarkan cahaya samar
bewarna hijau. Sorot proyektor mendekat memperlihatkan sisi tabung besar
tersebut. Terdapat beberapa lubang yang ditutupi oleh kaca dan kabel-kabel
asing di dalamnya.
“Kalian bisa mengisi kembali energi dari
tabung di sini, tapi itu membutuhkan waktu cukup banyak dan kalian tak bisa
bergerak dari tempat itu...”
“Itu saat yang tepat bagi kalian saling
menyerang.” Anastasia tersenyum bersemangat. “Intinya, memperhitungkan kapan
tabung kalian habis adalah kunci kalian untuk menang.”
Sesaat semua menjadi diam, terhanyut dalam
pikiran masing-masing sambil mendengar penjelasan dari Anastasia.
“Jadi kami tak perlu saling membunuh?” Kata
Avius memecahkan keheningan.
“...aku tak bilang seperti itu. Mulai dari
sekarang sampai seterusnya, kalian diperbolehkan saling membunuh.” Anastasia
mengatakannya dengan wajah serius.
“Baguslah, semua akan jadi lebih mudah,”
balas Nobuhisa santai. Walau tak mengatakan apapun, Apis terlihat juga satu
suara dengan Nobuhisa. Eophie nampak tak peduli, Maida tak bisa membaca
ekspresi Eophi yang masih terlihat mengantuk. Hanya dia dan Avius yang diam,
entah apa yang ada di pikiran Avius. Tapi bagi Maida...
Dia tak pernah membunuh manusia, siapapun.
***
III. PEMANASAN
Setelahnya mereka kembali ke kamar
masing-masing. Avius merasa bahagia karena Eophi bangun dan berjalan sendiri ke
kamar mereka. Maida dan Apis kembali ke kamar mereka untuk istirahat.
Setelah pembicaraan tadi, Maida terlihat
tidak tenang. Dia duduk di ranjangnya sendiri setelah melepas jubah hitamnya
dan hanya tersisa kemeja putih terkancing rapat.
“Ada apa nona Maida? Wajah anda terlihat
pucat.” Apis menyadari ekspresi Maida, kebingungan. Setahunya, makanan yang
mereka santap tadi seimbang sehingga tidak menyebabkan sakit perut ataupun
racun.
Maida kembali diam, dia ragu mengatakannya
pada Apis.
“...apa kau akan membunuh salah satu dari
kami?”
“Jika keadaan berkata, apabila itu cara
satu-satunya untuk menang maka saya akan melakukannya.”
Maida kembali diam, bukan karena perkataan
Apis membuatnya tersinggung. Yang dia herankan kenapa orang-orang bisa saling
membunuh dengan mudahnya. Sesuai kepercayaan yang dia terima dari ayahnya,
mengambil nyawa seseorang adalah hal yang tabu.
“...nona Maida ingin menang bukan?” Tanya
Apis.
Maida menatap Apis kembali, tak tahu harus
menjawab apa.
“Saya harus menang dalam pertarungan ini
karena saya mempunyai tujuan, karena itu apapun yang terjadi saya harus
menang.”
“Memang, apa tujuan Apis di sini?” Tanya
Maida.
Apis diam sejenak dan tersenyum.
“Aku tak bisa mengatakannya kepada nona,
tapi yang pasti itu menyangkut hidup saya.” Jawaban yang sopan diterima oleh
Maida dan dia mengangguk, tahu bahwa seseorang selalu mempunyai privasi.
Maida kembali berpikir, tujuannya ikut
kemari adalah untuk orang tuanya. Dia tak tahu akan adanya kompetisi, dia tak
tahu kalau akan menjadi seperti ini.
Lalu kalaupun sudah terjadi, apakah dia
harus mundur? Tidak.
“Aku...ingin menang,” kata Maida lirih.
“Maaf?” Apis pura-pura tak mendengar karena
suara Maida yang masih nampak ragu.
“Aku ingin menang!” Ucapnya lagi dengan
nada lantang.
Apis tersenyum dan mengangguk.
“Tapi bukan berarti aku akan membunuh
seseorang, Anastasia sudah mengatakannya ada cara dimana kita bisa menang tanpa
membunuh siapapun.” Maida menambahkan lagi, kini matanya lekat memandang
Apis.
“Saya tidak bilang bahwa kita akan saling
bunuh... tapi dalam medan perang tidak ada orang yang bisa dipercaya selain
diri sendiri. Anda cukup mengingat hal itu saja.”
“Saya juga tidak akan membunuh, kecuali
keadaan menyuruh saya untuk melakukan itu.” Apis menambahkan dan akhirnya
kembali pada aktifitasnya menyiapkan dan membersihkan senjatanya untuk besok pagi
sebelum terlelap.
Setelahnya semua begitu hening. Apis sudah
tidur lebih dulu, nampak nyenyak di ranjangnya. Maida masih duduk setelah
mengambil barang penting di suitcase
besar miliknya. Dia mengenggamnya erat-erat di dalam kedua tangan yang saling terkatup,
menempelkan pada mulut dan memanjatkan doa memberikan pertolongan pada dewi
yang sudah menjaganya.
Esok telah tiba, pertarungan mereka akan
segera di mulai.
***
“Selamat pagi kalian semua.” Anastasia
menyapa keenam orang yang sudah berjejer setelah menyantap sarapan mereka 30
menit yang lalu. Tidur mereka memang bisa dibilang nyenyak sekali, kecuali
Avius. Maida sendiri dalam kondisi yang prima, namun ada yang berbeda dengan
penampilannya. Rambut yang dia biarkan tergerai kini diikat ponytail, menyisakan rambut-rambut
pendek di sisi wajahnya terjatuh tanpa menghalangi mata birunya.
“Aku akan membimbing kalian menuju arena,
kalian jangan jauh-jauh dariku karena aku akan membuat pelindung.” Anastasia
membisikkan mantra sebelum lingkaran sihir kembali terlihat, sama seperti
portal-portal yang mereka lewati sebelum ini. Tanpa banyak bicara mereka
berempat masuk ke dalam, dan pemandangan berubah.
Suara gemericik air yang bertabrakan dengan
besi sedikit mengilukan telinga. Mereka berenam berkumpul di dekat Anastasia
karena tiba-tiba kubah pelindung menyelimuti mereka. Dan tepat setelahnya, dari
atas Laser ukuran sedang mendarat di kubah dan memberikan efek listrik statis
di sekitar kubah pelindung. Kengerian makin bertambah karena seiring mereka berjalan,
Laser terus jatuh dan bertabrakan dengan pelindung.
Tak butuh waktu lama mereka sampai di
generator besar yang sudah pernah ditunjukkan oleh Anastasia saat makan malam.
Di sana dia memberitahu semuanya cara mengisi energi dengan menancapkan generator
milik mereka pada wadah kecil yang ditutupi kaca, namun karena tak ada
penyangga maka tangan kanan mereka harus memegangi tabung generator itu sampai
terisi penuh, di saat inilah mereka tak bisa bergerak.
Maida memegangi tabung generatornya yang
baru saja diisi, sesuai instruksi Anastasia tabung itu harus terikat pada
tangan mereka (dan khusus Yu Ching disabukkan di badan) agar bisa terlihat oleh
lawan yang lain.
“Setelah ini aku akan mengirim kalian ke
tempat yang berbeda, kalian harus mencari satu sama lain agar bisa saling bertarung.”
“Tunggu nyaw!”
Yu Ching yang sedari tadi nyaman di atas kepala Nobuhisa menyela pembicaraan
mereka.
“Kira-kira berapa lama durasi energi
generator ini habis, nyaw?”
“Lihat tabung generator kalian, sekarang ada
10 bar, satu bar mewakili 2 menit jadi kalian punya waktu 20 menit sampai
energi habis.” Anastasia menjawab dengan tenang, peserta yang lain memandangi
tabung generator mereka dan secara bersamaan satu bar mati menandakan 2 menit
sudah berlalu sejak mereka mengisi tabung energi.
“Baiklah, dengan ini aku umumkan bahkan
babak Survival Of The Fittest di mulai!” Anastasia menjentikkan jari dan
lingkaran cahaya mengitari keenam peserta di tanah. Menciptakan lingkaran sihir
untuk memindahkan keenam peserta di pos mereka masing-masing. Dan dalam sekejap
keenam orang itu hilang dari hadapan Anastasia.
“...huft.” Anastasia menghela nafas lega,
dia memutar-mutar kepala untuk membuat lehernya rileks, bekerja selalu
membuatnya kelelahan. Masih berdiri di hadapan generator besar sambil memandang
ke arah langit.
Tinggal satu tugas untuknya pada ronde ini.
Dan dia harus melaksanakan tugas itu, dalam sekejap sosok Anastasia hilang dari
tempatnya pertanda dia meninggalkan arena tersebut.
Maida sempat melayang sebentar dan mendarat
dengan mulus di tanah. Dia turun di atas sebuah gedung bertingkat. Dia sedikit
kebingungan di mana ini, namun dia menemukan posisi generator besar yang
berjarak sekitar satu kilo di selatan. Tanpa banyak bicara lagi gadis itu
mencari tangga untuk menuju kebawah. Dia harus keluar turun terlebih dahulu.
Karena yang menjadi fokusnya sekarang,
jangan sampai energi pada tabungnya habis. Dua puluh menit bukan waktu yang
lama.
Turun dari gedung dia berjalan dengan
hati-hati. Sepatunya bahkan sudah basah karena terus menapaki genangan air.
Sunyi tak ada siapa-siapa, tapi bukan berarti dia tak waspada.
Sebenarnya, medan pertempuran ini sangat
menguntungkan Maida. Karena ini bukan pertarungan melawan banyak monster.
Selain itu dia tak perlu takut...
Karena hujan laser tak akan bisa
mengenainya.
***
Berapa menit? 10 menit berlalu indeks tabung
Maida sudah habis setengahnya. Semenjak tadi gadis itu hanya berlari dan
berusaha menghindari jalan yang dapat mudah diketahui musuh. Dia terang-terangan
berlari diantara guyuran hujan.
“Ah Maida,” Nobuhisa yang sedang membawa
pedangnya tanpa sengaja melihat gadis itu dari atas. Pakaiannya juga basah di
guyur hujan, terdapat lubang-lubang bekas hantaman dan sayatan di sekitar atap
bangunan yang mereka berdua tapaki saat ini.
Ya mereka berdua, karena di depan Nobuhisa
sekarang terlihat Eophi yang membawa bantal dan gulingnya layaknya senjata.
Pria itu sudah menemukan Eophi tepat beberapa menit setelah mereka berpencar, dan
tanpa ragu-ragu langsung menyerang pemuda yang selalu terlihat mengantuk itu.
Bahkan di saat seperti ini Eophi masih
terlihat mengantuk.
“Bukankah ini bahaya? Pria itu benar-benar
ingin menghancurkan kita!” komentar bantal putih bernama Milk.
“Kita harus keluarkan ‘itu’ Eophi, mau menyerang
juga kita tak mungkin.” komentar sang kasur bernama White yang mulai mencoba
meyakinkan masternya.
Bahkan sampai detik ini, Nobuhisa masih
takjub dengan benda-benda yang bisa berbicara itu. Kalau bisa dia ingin tanya
dimana Eophi membelinya, asik jika dia bisa mendapatkan bantal yang bisa
memberikan support jiwa dan raga, apalagi semakin asik jika suara bantal itu
adalah suara nona cantik.
Ah tapi itu nanti, yang penting dia harus
menang terlebih dahulu.
Dari awal Eophi tak memiliki kesempatan
sama sekali, gerakan Nobuhisa yang gesit dengan menggunakan dua pedang di
tangannya. Saat pertama Nobuhisa langsung melesat kearahnya saja White
mendapatkan sayatan cukup besar, andai White tidak menyelimuti tubuh belakangnya,
Eophi pasti akan terluka.
Dia tak bisa bertarung, pertarungan satu
lawan satu seperti ini justru sangat merugikan Eophi. Cara satu-satunya yang
bisa dia lakukan adalah berkelompok dengan orang lain.
Tanpa banyak bicara Nobuhisa melesat sekali
lagi, Eophi sedikit mundur dan White langsung menyelimuti tubuhnya. Cahaya
menyilaukan membuat Nobuhisa langsung mundur dan menutupi mata dengan
lengannya, dia mengira Eophi akan menyerangnya di saat matanya tak bisa
melihat.
Namun yang dia lihat adalah patung
kura-kura raksasa yang tingginya 10 kali lipat dari dirinya. Bahkan seisi pulau
mungkin bisa melihat sosok kura-kura ini.
“ANJIR!!” Nobuhisa spontan berteriak. Apa
kura-kura itu binatang peliharaan Eophi? Nobuhisa spontan memasang kuda-kuda
bertahan karena menyangka kura-kura itu akan menghantamnya.
“Ng...” Eophi yang berada di depan
kura-kura mendapat perhatian Nobuhisa sekarang.
“Jadi...”
“Sampai jumpa.” Eophi melambaikan
tangannya. Patung kura-kura itu melemparkan Eophi ke udara. Kura-kura membuka
mulutnya, pemuda berambut hijau itu dilahapnya langsung saat masuk kedalam
mulutnya.
“Demi Dewa Amaterasu.” komentar Nobuhisa
mendongak menatap patung kura-kura yang begitu besar namun nampak tak akan
memberikan perlawanan apapun.
Sekarang apa yang harus dia lakukan?
***
Maida sampai ke generator besar, nampaknya
dia datang lebih dulu. Tanpa banyak pikir lagi dia segera menuju tempat
pengisian. Dia terlalu paranoid sebut saja, padahal indeks energinya baru padam
4 batang. Dia berlari menuju tempat pengisian namun suara langkah kaki yg cepat
langsung membuatnya menoleh kebelakang.
Tak ada siapa-siapa.
Sunyi, hanya ada bangunan kosong di sekitar
mereka. Apa hanya perasaan Maida?
Dan suara langkah kaki berlari kembali
terdengar. Maida spontan menoleh, tapi tak ada siapa-siapa.
Ini mulai mengerikan.
“Siapa di sana?” Maida refleks membuka tas
pinggangnya untuk mengambil senjata. Tak ada tanda-tanda munculnya seseorang.
Maida memandang sekitar namuna da satu titik yang tidak dapat dijangkau sorot
matanya sekarang.
Tepat di atas generator besar di belakang,
seekor serigala mengintai Maida. Membawa sebuah belati kecil di mulutnya,
binatang buas itu turun untuk menusuk punggung Maida dari atas.
Jarak semakin menyempit, Maida masih belum
sadar apa yang terjadi. Namun seperti sebelumnya, pisau itu tak akan bisa
menghujam Maida.
Bongkahan Es spontan tercipta, menghalangi
pisau untuk sampai di punggung. Gerakan serigala itu terhenti dan Maida menoleh
karena merasakan balok es melindungi bagian punggungnya. Mulutnya mengucapkan
mantar perlahan, saat gerakan serigala tertahan karena pisau yang tersangkut
pada bongkah es, Maida langsung mengurung serigala itu dalam kotak air yang dia
ciptakan.
Maida kira dia menangkapnya, namun tiba-tiba
Serigala itu menghilang bagaikan asap di dalam kurungan airnya, sihirkah?
Hening sekali lagi. Dia ingin mengisi
generatornya sekarang tapi tak bisa
karena jelas ada yang mengincarnya. Maida menghela nafas panjang berusaha
menenangkan diri.
“Yo, Maida~”
Namun suara itu membuyarkan konsentrasinya.
Aneh, sesaat dia teringat ileh Evans yang
juga memiliki gaya bicara yang sama. Namun setelah menoleh yang dia lihat
adalah pria dengan baju samurai dan pedang yang dia bawa, Nobuhisa.
Andai ini di penginapan, dia pasti sudah
membalas riang sapaan itu. Tapi kali ini mereka musuh. Maida sudah mengambil 5
buah jarum dari tas pinggangnya. Mengira Nobuhisa yang menyerangnya tadi.
“Ng...aku susah kalau harus berhadapan
dengan wanita, bisakah kau membiarkanku mengisi tabung? Aku tak akan
menyerangmu,” Senyum cerah diperlihatkan oleh Nobuhisa.
“Tapi tadi kau menyerangku!” Maida masih
tak tenang.
“Hah? Bukan suer! Aku baru saja datang
tadi, masa aku menyerang gadis cantik sepertimu.” Kata Nobuhisa masih dengan
pedang terayun bebas di tangannya. Benar-benar mencurigakan.
Maida merengut kebingungan.
“Agh!” Terdengar lagi suara seseorang namun
kali ini ada dibalik bangunan. Nobuhisa dan Maida menoleh dan ditemukannya
Avius yang terhempas dari bangunan kosong.
Dan sosok Apis yang mengangkat kakinya
setelah menendang Avius yang bersembunyi di sana. Empat orang ini akhirnya
berkumpul. Maida saling beradu pandang dengan Apis sekarang. Avius mencoba
bangkit setelah mendapat tendangan dari Apis.
Maida berpikir kalau dia harus cepat
bergerak dan pergi dari sini.
Maida melangkah lebih dulu, dia mencoba
mendekat pada tabung pengisi energi dan meletakkan tangannya di dalam tempat
pengisian. Apis yang melihat gerakan Maida otomatis mengikutinya, mengetahui
keadaan Maida yang tak mungkin bergerak dia mengambil kesempatan untuk
menyerang Maida dari dekat. Dengan kekuatan kakinya dalam sekejap dia sudah
berada di depan Maida. Gadis itu memang dalam kondisi tak bisa bergerak
sekarang, tapi bukan berarti dia tak ada persiapan.
Maida tersenyum percaya diri, sebuah
pelindung dari air muncul di antara
dirinya dan Apis. Keris yang melesat lebih dulu langsung tertahan tak bisa
menembus pelindung yang sudah mengitari tubuh Maida.
“Gawat, pelindung?!” Apis bergerak mundur kebelakang,
tiba-tiba dia menjatuhkan tubuhnya ke bawah, menghindari serangan Nobuhisa yang
sudah mengayunkan pedang ke arahnya. Nobuhisa berdecak kesal. Apis mengangkat
tubuhnya dengan kedua tangan dan kaki yang berada di atas menendang tangan
samurai tersebut untuk melemaskan pegangan pada pedangnya.
Pedang terhempas dari tangan Nobuhisa,
namun bukan berarti dia tak ada persiapan. Tangan kirinya masih memegang pedang ninjato dan menghujam ke arah kaki
Apis.
“Kh!” Erangan terdengar dari mulut manusia
setengah burung itu, kembali pada posisinya dia mundur menghindari Nobuhisa dan
Maida, darah mengalir pelan di kaki tangannya.
Nobuhisa tersenyum, mengambil kembali pedang yang sempat
terjatuh. Maida hanya memandangi, namun terkaget begitu Nobuhisa mencoba
meghantamkan pedang ke pelindungnya. Tapi pelindung itu tetap tak bergeming,
masih tetap kokoh.
“Hoo, benda seperti pedang tak bisa
menghancurkanya kah Maida?” Tanya Nobuhisa kepada Maida yang ada di dalam.
Jujur rasanya aneh bercakap-cakap dengan Nobuhisa di dalam sebuah
pelindung.
Maida hanya mengangguk dalam diam.
“Kalau begitu percuma aku menyerangmu
sekarang, lebih baik aku fokus saja pada Apis.” Nobuhisa menoleh kepada pria
cantik yang kakinya terluka karena serangan pedang tadi. Apis mengerutkan
kening tak suka, tapi dia tak bisa apa-apa, pada akhirnya dia berlari
menghindar dari sana.
“Eits! Jangan kabur!” Nobuhisa mengejar
Apis dan berlalu dari sana.
Semua kembali hening. Tak butuh waktu lama
tabung Maida sudah terisi penuh dan dia melepaskan pelindungnya. Tak lupa dia
memandang ke arah Avius yang tadi sempat tertendang oleh Apis, namun sosok
pemuda itu hilang.
Jujur saja ini menakutkan.
Bahkan dalam sekejap sudah terjadi
pertarungan di depannya, dan yang bisa dia lakukan hanya berlindung. Kalau
begini bagaimana caranya dia bisa menang?
“Maida...”
Gadis itu menoleh dengan kaget, dan di
belakangnya terlihat Eophi dengan kasur kesayangannya. Menggesturkan Maida agar
tenang dengan telunjuk di letakkan di tengah bibir.
“Ikut denganku.”
***
IV . SEMUT DAN GAJAH
Entah sudah berapa menit berlalu
setelah kejadian sebelumnya. Dan sekarang Maida, Eophi, Avius dan juga Yu Ching
berkumpul pada bangunan kosong yang tak ada apa-apa kecuali bebatuan dan lempeng
besi bekas pembangunan ataupun dinding yang hancur.
Eophi mengajaknya untuk berdiskusi
bersama 2 peserta lainnya. Avius yang tadi terlihat terluka sekarang nampak
baik-baik saja, Maida menduga pria ini punya sihir penyembuh atau sejenisnya.
“Jadi, apa yang ingin kalian
bicarakan?” kata Maida mulai tak nyaman, bagaimanapun mereka semua musuh di
sini.
“Begini, miaw!” Yu Ching mencoba menjadi pihak penjelas.
“Kami ingin membentuh kerja sama untuk
sementara,” namun sudah disela oleh Eophi duluan. Yu Ching yang kesal mulai
mencakar kaki Eophi, yang tercakar mulai menghindari cakaran ke dua dengan
berlari-lari kecil.
Avius yang melihat keadaan ini menjadi
penengan, mereka harus menyelesaikan diskusi ini.
“Lawan terberat kita kali ini adalah
Nobuhisa, dan kita berdua...tidak, bahkan bertiga akan kesusahan melawannya,”
Melihat pertarungan tadi saja dia sudah tahu.
“Karena itu kami ingin menghabisinya
terlebih dahulu, setelah itu terserah kalian masing-masing.”
Maida hening, bukannya dia tak tahu. Tapi
dia merasa ini memang rencana yang baik. Dia tak pandai berkelahi, andaikan ada
Apis di sini dia pasti juga akan membantu.
“Hampir kami semua tidak memiliki kemampuan
untuk bertarung, karena itu aku mencoba mengumpulkan kalian semua.” Eophi menambahkan,
dia duduk di atas kasur yang melayang dan tubuhnya dirangkul oleh selimut yang
nampak hangat.
“Baiklah, aku percaya pada kalian,”
Karena untuk menghadapi Nobuhisa Maida sendiri juga percuma. Mereka juga
dikejar waktu.
“Pertama-tama, Nobuhisa pasti akan
menunggu kita di tempat generator,” Eophi mulai menjelaskan bagaimana rencana
mereka kedepannya.
Dari semua penjelasan panjang, Maida
tahu bahwa Eophi dan Avius sama-sama terfokus pada sihir penyembuh dan sihir
perlindungan. Yu Ching sendiri juga hanya bisa melakukan sihir penyembuhan.
Satu-satunya yang bisa menyerang hanyalah Maida.
Maida menjelaskan sekali lagi bahwa
dia bisa melumpuhkan Nobuhisa selama beberapa menit, dan itu bisa menjadi
kesempatan untuk meghancurkan generatornya. Yang mereka lakukan adalah menyusun
rencana.
Eophi dan Yu Ching akan mencoba
mengalihkan perhatian dan serangan Nobuhisa, dan saat-saat tertentu Maida akan
mendekat secara tiba-tiba untuk menyerang samurai itu dengan Camellianya. Saat
ditanya apa yang bisa Avius lakukan, dia bisa melakukan penyembuhan dalam skala
yang luas walau tak begitu cepat, bagi mereka itu sudah cukup agar Eophi dan Yu
Ching bisa bertahan.
“Kita semua tak bisa bertarung secara
langsung, aku tahu itu...” Eophi memeluk gulingnya manja, dia ingin segera bisa
tidur kembali.
“Tapi kalian tahu semut bukan? Mereka
lemah, tak memiliki kemampuan yang hebat. Tapi dengan kekuatan bersama, mereka
bisa membuat gajah ketakutan,”
“Aku yakin jika kita berempat bersatu,
kita bisa mengalahkan gaj—masudku samurai itu,” Eophi tersenyum kecil.
“Tapi aku kucing miaw, aku tak mau disamakan dengan semut,” Kucing hitam mulai
protes.
“Ng yah...itu hanya perumpamaan,” Eophi
menaikkan kedua sisi pundaknya dan sadar.
Dia juga tak mau disamakan dengan semut.
***
Sesuai rencana, mereka bergegas menuju
generator. Maida dan Avius bersembunyi di bangunan yang ada di dekat generator.
Sementara Eophi dan Yu Ching berjalan menuju generator. Dan sesuai dugaan
mereka, terlihat Nobuhisa yang berdiri
duduk dan menyangga pedang dengan pundaknya, rintik hujan makin membuat
suasana di sekitarnya mencengkam.
“Hoh! Kau sudah dimuntahkan oleh kura-kura
tadi?” Nobuhisa tersenyum ramah kepada Eophi yang sudah menggunakan bantal dan gulingnya
seperti tadi, sebagai senjata. Yu Ching juga bergerak perlahan tapi matanya
fokus pada Nobuhisa.
Apa yang tidak mereka ketahui adalah, Apis
berada tidak jauh dari Nobuhisa. Avius melihat Apis yang berdiri tak takut,
seharusnya dia terluka saat terkena tebasan Nobuhisa tadi, namun nyatanya dia
masih ada di sini.
Perasaan Avius tidak enah.
“Nah Apis,” Nobuhisa mulai berdiri siap
dengan kuda-kudanya.
“Sesuai perjanjian kita, aku minta
bantuanmu,” Samurai itu tersenyum lebar.
Tanpa mereka berempat ketahui, kedua orang
ini juga membentuk kerjasama sementara.
Apis berdiri, tiba-tiba dia berjalan
menyaping dengan tangan berposi kaku, telapak tangan di dekatkan pada telinga
dan satu tangan dibiarkan maju dengan telapak menghadap utara. Kakinya bergerak
gemulai diikuti suara gemerincing yang berasal dari gemerincing di kaki kanan,
kaki itu menapaki tanah dalam satu posisi, bergerak pelan lalu memutar. Tanpa
sadar mereka semua memandang, tarian Apis cukup unik dan juga indah. Setiap
gerakan ayunan tangan dan hentakan kaki seakan membentuk irama yang tidak
biasa. Namun mereka tak tahu, tarian itu akan sangat mematikan jika digabungkan
dengan Nobuhisa.
Samurai
itu mengambil beberapa batu. Jarak antara dia dan dua orang (dan ekor)
lainnya masih cukup jauh. Dia melemparkan batu yang berukuran satu genggaman ke
arah Yu Ching. Dan yang benar saja, batu itu tepat mengenai Yu Ching. Membuat
kucing kecil itu terlempar kebelakang walau dia bisa kembali berdiri
setelahnya.
Sesuai dugaan Nobuhisa, akurasinya bertambah.
“Apis memberikan support pada Nobuhisa!”
Teriak Avius spontan. Pemuda itu tahu setelah melakukan telepati dan membaca
apa yang ada di pikiran Apis.
“Hoh? Bukan hanya kalian berdua?” Nobuhisa
sudah siap dengan dua pedangnya.
Baru kali ini Eophi meneguk ludah. Dia
mengeluarkan Hel, naga manisnya untuk menari di atas kepalanya.
Sudah dapat diduga, Nobuhisa akan menyerang
Eophi lebih dahulu. Pemuda berambut hijau kembali memunculkan cahaya
menyilaukan, tetapi telat satu detik karena Nobuhisa sudah memukul bagian
pundaknya dengan pegangan pedang, hanya seperti itu saja sudah membuat Eophi
mundur kebelakang.
Namun serangan kedua Nobuhisa berupa
tebasan pedang tak berhasil karena Eophi sudah mengaktifkan kekuatan bantalnya,
membuat medan pelindung yang kuat.
Pelindung lagi, lama-lama Nobuhisa stress
karena terus berhadapan dengan dinding pelindung.
“Tak apa Nobuhisa, kau bisa
menghancurkannya,” Kata Apis lantang, dia masih melanjutkan tariannya.
“Benarkah?” Nobuhisa mencoba menyerang benteng
itu sekali lagi. Seragannya bertubi-tubi. Pelindung yang awalnya terlihat tak
tergoyahkan perlahan-lahan terkikis, Eophi sadar bahwa Nobuhisa sudah melakukan
10 serangan lebih yang begitu cepat.
“Sekarang miaw!” Yu Ching mencoba menerjang ke kepala Nobuhisa, menggigit
sekuat tenaga termasuk rambut-rambut lebat milik samurai itu.
“ADOH!” Nobuhisa mengerang sakit, dia
meronta-ronta dan mencoba menarik paksa Yu Ching dari kepalanya. Aba-aba yang
diucapkan tadi bukan untuk Yu Ching seorang. Saat Nobuhisa terdistraksi, Maida
berlari dan meloncat, dari belakang benteng yang dibuat oleh Eophi. Dia
melesatkan kelima jarumnya ke arah Nobuhisa.
Namun dengan gerakan yang cepat, 3 dari 5
jarum itu bisa ditangkis oleh pedang Nobuhisa. Dua lainnya menusuk lengan
Nobuhisa dan ornamen Camellia terlihat bermekaran di lengannya, tapi samurai
itu tak merasakan apa-apa dan malah mencabut jarum itu dengan mudah dan
membuangnya.
Sial.
Ekor Yu Ching diambil paksa oleh Nobuhisa.
Kucing itu meronta-ronta tak berdaya. Dalam beberapa detik Nobuhisa langsung
menebas tabung energi yang menempel pada tubuh Yu Ching, dan seketika ledakan
kecil terdengar, menandakan benda itu hancur.
“Miaw!”
Suara teriakan kesakitan Yu Ching terdengar, namun kucing itu langsung lenyap
dari pandangan mereka, seakan ditarik kembali dan tak ada di sana.
“Satu selesai,” Cengiran puas terlihat.
Di saat seperti ini, Nobuhisa benar-benar
terlihat seperti karakter antagonis.
Tapi Maida tak punya waktu untuk takut. Dia
kembali mengambil Camellia dari tempatnya, berusaha untuk menusukkan langsung,
butuh total 5 Camellia harus dia tusuk sebelum melumpuhkan Nobuhisa.
Namun samurai itu menahan tangannya.
“Maaf,” kata Samurai itu lalu menarik
tangan Maida dan coba melemparkannya kesamping.
“Kyaaa!” teriak nyaring gadis itu dan
terhempas tidur terguling di atas tanah.
Nobuhisa jadi semakin kuat karena bantuan
Apis. Avius yang sedari tadi bersembunyi akhirnya mengubah rencana dan
merapalkan mantra, seekor serigala muncul di hadapannya. Serigala yang juga
menyerang Maida sebelumnya.
Serigala dan Avius berlari, bergerak
mendekat kearah Apis yang masih menari. Pemuda ras Wadana itu megetahui apa
yang akan dilakukan Avius, satu kakinya dihentakkan ke tanah, membuat sebuah
suara gemerincing dan tiba-tiba gerakan Avius dan serigala itu terhenti.
Apis menggunakan kesempatan itu untuk
mengambil kerisnya dan menusuk tabung energi yang ada di tangan kanan Avius.
Dalam sekejap tabung itu rusak dan terlihat aliran listrik statis muncul dari
tusukan keris Apis.
Dan seperti Yu Ching, sosok Avius langsung
hilang.
Dalam sekejap semua rencana rusak begitu
saja, mereka berdua terlalu berat untuk di lawan.
“Maida, coba lumpuhkan Apis, aku akan
menahan Nobuhisa di sini,” Kata Eophi masih dalam bentengnya, walau benteng itu
sudah mulai mendapatkan damage dari
serangan Nobuhisa tadi.
Maida yang sempat terguling langsung
bangkit dan merapalkan mantra. Sebuah kotak air hendak mengurung Apis yang tak
bergerak, namun pemuda setengah burung itu dengan gesit menghindari kurungan.
“Pada akhirnya kita berdua harus bertarung
bukan, Nona Maida?” Komentar Apis sambil tersenyum pelan. Pemuda cantik itu
mencoba menyerang hendak menerkam leher Maida. Namun Maida menghindar ke bawah,
dan langsung menusukkan satu jarum di lengan Apis.
“Satu,” Komentar Maida.
Entah sejak kapan ekspresi gadis itu
berubah.
Dia melewati Apis dari balik lengannya dan
berlari menjauh. Kaki Maida terasa sakit, tapi bukan berarti itu menjadi alasan
untuknya berhenti. Dia memandang kearah Eophi yang masih berusaha bertahan. Dia
menggigit bibir, dan langsung pergi dari sana dan Apis mengikutinya.
Masih ada waktu 10 menit sebelum tabung
energinya habis. Dia menjauhi generator besar dan masuk ke wilayah dimana badai
plasma berupa hujan laser bisa menerjang mereka sewaktu-waktu. Maida mencari
tempat yang pas, sebuah tempat dimana puing-puing bangunan menghalangi
pandangan.
“Ngh!” Bongkahan es kembali tercipta di
atas kepala Maida, melindugi gadis itu dari serangan laser yang jatuh dari
atas. Hujan plasma berbentuk laser benar-benar membuat gerakan seseorang
terhenti. Tapi tidak untuk Maida, karena itu
medan ini adalah tempat yang tepat untuknya bertarung.
Apis mengikuti di belakang, pemuda itu nampak
cekatan menghindari beberapa laser yang mengarah padanya. Kakinya begitu cepat
sehingga dia punya banyak waktu untuk meghindar.
“Percuma Nona Maida, hujan Seperti ini
tidak akan membuatku tumbang,”
Maida meneguk ludah, bersembunyi dibalik
dinding yang sudah rusak.
“Aku tahu, tapi kesempatan jauh lebih besar
disini,”
Dan mereka berdua tidak saling
bercakap-cakap lagi.
Maida kembali melesatkan Camellia ke arah
Apis, namun sekali lagi bisa dihindari. Sambil memghindari beberapa laser yang
melesat, dia terus bergerak. Sementara Maida mencoba menjauh tanpa harus repot
menghindari laser-laser yang terus jatuh. Perbedaan kecepatan menjadi kunci di
sini, Maida tahu bahwa terus menjauh tak akan membuatnya menang.
Apa, apa yang bisa dia lakukan untuk mengunci
gerakan Apis?
Maida kembali bersembunyi dibalik sebuah
bangunan yang sudah hancur dan hanya tersisa puing-puing. Dia mencoba
menenangkan diri, berpikir.
Dia tahu satu-satunya cara untuk
menghentikan Apis adalah dengan mengurungnya. Tapi Water Box tidak cukup cepat
untuk menandingi kecepatan menghindar Apis. Bagaimana dengan Water Shield?
Tidak, Water Shield memang bisa mengurung
seseorang, namun bagian dalamnya rapuh dan mudah dihancurkan. Jelas akan mudah
Apis hancurkan. Maida mencoba mengingat kembali ajaran gurunya saat dia masih
bersekolah, tapi terganggu begitu Apis mengetahui posisi Maida.
“Ngh!” Maida mencoba menghindar begitu Apis
berusaha mencengkramnya agak tak bergerak. Bagian lengan jubah Maida tertarik,
Maida merapalkan mantar sekali lagi untuk mengurung Apis dalam kurungan air.
Setengah tubuh Apis terkena kurungan itu, namun sekali lagi pemuda itu bisa
kabur karena sangat mudah keluar dari air apabila seluruh tubuh tak terkurung.
“Apapun yang kau lakukan itu percuma nona
Maida!” teriak Apis, terdengar senang karena mau bagaimanapun Maida tak akan
bisa mengalahkannya. Tangan kanan Apis bergerak untuk mencekik.
Maida terdorong, kedua tangannya mengenggam
kuat tangan kanan Apis yang mencekiknya. Tangan kiri Apis bergerak mencoba untuk
merebut tabung energi Maida, tapi gadis itu masih bersikeras dan mencegah
tangan kiri Apis untuk mengambil tabung energinya.
Cengkramannya begitu kuat.
Apis diam, menghela nafas.
“Saya pernah bilang, saya bisa saja membunuh
apabila keadaan berkehendak bukan,”
“Kalau anda tak mau menyerahkan tabung
energi anda, maka saya harus membunuh nona,” Kata Apis dengan sorot mata
tenang. Maida masih berusaha berpikir.
Apa yang sudah dia dapatkan selaman ini?
Ilmu apa yang bisa dia dapatkan?
Ini sudah menyangkut hidup dan mati, pasti
ada sesuatu yang ditinggalkan gurunya, ayahnya...orang tuanya...
Tiba-tiba Maida mendapatkan sebuah Ide
walau dia tak tahu ini akan berhasil atau tidak.
Maida sekali lagi mencoba mengingat-ingat.
Elemen yang dia punya bukan hanya air, air adalah elemen keduanya. Ada satu hal
yang sudah dia dapatkan sejak kecil walau tak pernah dia tempa.
Elemen Es.
Maida berusaha untuk tenang walau lehernya
sudah terasa sangat sakit, dia bahkan mulai susah untuk bernafas. Dengan sisa
tenaganya dia menciptakan kurungan air mulai dari kaki Apis, dan perlahan-lahan
Volume air itu naik.
“Sudah kubilang percuma nona Maida, aku
bisa menghindarinya dengan mudah seperti tadi,” Apis mengangkat satu kakinya,
mencoba lepas dari kurungan air itu namun tiba-tiba kakinya tak bisa berhenti.
Apis
spontan menoleh kebawah, dan dia terkejut ternyata kakinya kini membeku. Kotak
yang awalnya terdiri dari air kini membeku menjadi sebuah es.
“Apa?!” Apis terkejut, namun sudah
terlambat karena kini kedua kakinya tak bisa bergerak. Dia menguatkan
cengkramannya pada leher Maida, namun gadis itu berkonsentrasi. Volume air
semakin meninggi, mencapai badan Apis. Dan beberapa detik kemudian air itu
membeku.
Terlihat senyum puas dari wajah cantik
Maida.
“Aku sudah bilang....kalau ada cara
agar kita tak saling membunuh kan?” Maida sudah berkeringat dingin. Air semakin
meninggi sampai menutupi wajah Apis yang menutup mata karena tak pernah berada di
dalam air sebelumnya. Dan dalam sekejap sebuah kurungan es menyelimuti selutuh
tubuh Apis, kecuali kedua lengan yang masih bebas dan mencengkram leher Maida.
Maida langsung melepaskan diri dari
cengkraman, terlihat jelas bekas kemerahan dari jari-jari Apis. Maida duduk
sambil terbatuk-batuk, cengkraman tadi bahkan membuat tulang lehernya terasa
sangat nyeri.
Tapi pertarungannya belum berhenti
sampai di sini.
Maida memandang Apis yang terkurung
dalam bongkahan Es, nampak tertidur karena matanya yang tertutup. Kedua tangan
Apis yang masih bebas nampak lemas. Maida kembali meneguk ludah, entah kenapa
ide luar bias sekali lagi terlintas dalam benaknya.
***
Maida segera berlari menuju generator
pusat. Dia tak tahu apa yang terjadi, yang pasti Eophi dan Nobuhisa menunggu di
sana, siapapun yang menang yang pasti harus Maida hadapi.
Dia sudah terlalu capek, bahkan lebih
capek daripada ujian kelulusannya kapan lalu. Dimana dia membentuk party untuk
mengalahkan Naga pupstink yang
terkenal dengan kekuatannya yang dapat mengguncangkan pulau. Untungnya berkat
bantuan Evans dan Collians, mereka bisa menyelesaikan ujiannya. Tapi kali ini
tak ada yang membantu, dan keselamat nyawanya tidak terjamin, sudah dibilang
dia harus menang bukan? Maida harus serius.
Sampai di tempat, dan apa yang dia
lihat adalah Nobuhisa yang sedang mengisi energinya. Tak ada tanda-tanda Eophi
di sana, apakah pemuda itu sudah dikalahkan? Maida sendiri tak tahu. Nobuhisa menyadari Maida yang mendekat, pria
beradarah samurai itu nampak takjub gadis itu bisa menang melawan Apis.
“Ooh, diluar dugaan kau kuat juga
Maida!” Serunya semangat, bahkan di saat seperti ini Nobuhisa terlihat sangat
santai. Pria itu melepaskan tangannya, sudah mengisi penuh energinya sehingga
tak perlu khawatir denga kehabisan energi.
Berbeda dengan Maida.
Maida mendekat, Nobuhisa melirik
tabung energi Maida yang ada di tangan kanan dan dilihatnya hanya satu bar yang
masih menyala, pertanda Maida hanya memiliki waktu 2 menit lagi. Bukankah
kemenangannya sudah pasti?
“Kau tahu kalau kau tak punya banyak
waktu lagi kan?” Nobuhisa memamerkan tabung energinya yang menyala penuh.
“Tinggal masalah waktu sampai energimu
habis dan kau kalah,” Nobuhisa sebisa mungkin menghindari bertarung dengan
Maida. Bertarung dengan wanita yang nampak lemah sama sekali bukan style-nya.
“...kau tahu? Karena itu apakah
Nobuhisa mau memberiku waktu untuk mengisi energi?” Maida tersenyum manis walau
dengan badan yang sudah kotor dengan
tanah. Bahkan dalam keadaan seperti ini kecantikan Maida tetaplah
terlihat.
“Ng bagaimana ya, aku tak suka
mengulur waktu,”
Mendengar itu Maida langsung berlari
mendekat ke arah Nobuhisa. Sang Samurai tak perlu menggunakan dua pedang kali
ini, satu pedang ninjato miliknya sudah cukup untuk menjatuhkan Maida. Maida
berusaha mengelak ke kanan untuk meghindari tebasan dari Nobuhisa yang terarah
lurus kedepan dan berhasil, namun arah tebasan Nobuhisa dengan cepat berganti
ke sisi kanan, mengincar bagian rusuk Maida.
Serangan itu kena telak, untungnya
Nobuhisa menggunakan punggung pedang jadi dampak serangannya tidak akan
menyebabkan luka. Jelas Nobuhisa melakukannya untuk mengulur waktu, 2 menit
adalah waktu yang sedikit.
“Sudah kubilang percuma Maida, terima
saja kekalahanmu,” Nobuhisa agak tidak enak hati karena harus melukai seorang
gadis, tapi bagaimanapun dia harus menang.
Maida terkapar, tak bergerak. Nobuhisa
menganggap gadis itu sudah kehabisan tenaga karena jelas serangannya tadi tak
mungkin membunuhnya. Dia memandang lekat-lekat indeks bar pada tabung energi
Maida di lengan kanannya yang terekspos, dan akhirnya cahaya terakhir padam,
menandakan energi tabung energinya sudah habis.
Nobuhisa mendengus senang, dia
membalikkan badan dan langsung merengangkan tangannya merasa lega karena
pertarungan sudah selesai. Pada akhirnya semua berakhir, sekarang dia menunggu
pengumuman kemenangannya.
Atau tidak?
JLEB!!!
Nobuhisa terkejut, bahkan sesaat dia
merasa apa yang dia rasakan hanya khalayan. Nobuhisa tak percaya, perlahan dia
menoleh kebelakang dan dilihatnya 3 jarum dengan ornamen Camellia di bagian
ujung menusuk punggungnya.
Dan dibelakangnya terlihat sosok Maida
yang duduk, sukses melemparkan tiga Camellia yang tersisa sebagai syarat untuk
melumpuhkan Nobuhisa.
“K-kau, bagaimana bisa!” teriak
Nobuhisa tak percaya, dia tahu bahwa tabung energi Maida sudah habis tadi, dia
melihat dengan mata kepalanya sendiri.
Wajah Maida masih pucat, dia
memperlihatkan tangan kirinya. Dan disana terdapat tabung energi lain yang
indeksnya masih menunjukkan satu batang yang masih menyala. Apa yang dia ihat
bukanlah tabung energi milik Maida, melainkan milis Apis yang dia ambil tadi.
“K-kau—,” Nobuhisa tak menyelesaikan
perkataannya karena dia langsung terjatuh, seluruh tubuhnya mati rasa. Racun
dari jarum-jarum Maida sepertinya sudah bekerja.
Dengan sisa tenaganya Maida berjalan,
mengambil tabung energi yang terikat di tangan kanannya. Tangannya kini
mengenggam dua tabung energi milik musuhnya, Nobuhisa dan Apis. Dia langsung
menghancurkan tabung energi itu dengan menginjaknya.
Semua sudah selesai.
Maida langsung menjatuhkan diri di
atas tanah, tak peduli dengan hujan yang mengguyur dan menganggu pandangannya. Langit
begitu hitam, petir tak bersuara terus terlihat dari atas sana, begitu
mengerikan. Maida ingin segera keluar dari tempat ini, dia sudah menang dan
tanpa membunuh siapapun.
Dengan perasaan lega, gadis itu
menutup mata untuk beristirahat.
***
V. ANASTASIA
“Hebat,” Tak ada yang tahu bahwa di
salah satu atap gedung yang tinggi terdapat seseorang yang terus memantau
pertarungan mereka dari tadi. Tepukan tangan terdengar, sosok itu adalah orang
yang berkomunikasi dengan raja beberapa saat yang lalu.
Sedari tadi dia memantau, apakah gadis
pilihan raja adalah orang yang tepat atau tidak. Kemampua terakhirnya untuk
membekukan seseorang dalam medium air benar-benar menarik, sekarang dia paham
kenapa raja ingin melihat gadis itu berkembang.
Yah semua sudah berakhir, dan
kemenangan anak itu sudah pasti. Dia hendak pergi dari tempat itu.
Namun tak bisa, karena dibelakang
sudah terlihat Anastasia mencegahnya bergerak dengan mata pisau yang dipegang
sudah berada di bagian tengkuk.
“Aku merasa aneh karena jumlah orang
yang dikirim kemari melebihi peserta, dan ternyata itu adalah kau,” komentar
Maid kepercayaan sang penguasa dunia ini. Tangan yang lain sudah sigap memegang
satu pisau lagi.
Pemuda berambut perak itu berhenti
sebentar dan hanya tersenyum. Dia mencoba menghunuskan pedangnya di balik jubah
untuk mengenai Maid tersebut. Anastasia berhasil menghindari pedang yang muncul
dengan tiba-tiba.
“Jangan marah seperti itu Maid, aku
kesini secara tidak sengaja~” Balasnya santai, sebuah pedang panjang dengan
ornamen batu Peridot berkilauan di bagian pegangan terlihat. Anastasia terlihat
berhati-hati karena yang dia lawan bukanlah pemuda biasa.
“Aku sudah merasakan yang aneh sejak
pertarungan di gurun waktu itu, dan aku menemukan informasi adalanya peserta
illegal yang masuk,” Anastasia menyibak rok pakaiannya dan terlihat puluhan
pisau sudah terkalung di pahanya, siap ditarik kapanpun.
“Ketahuankah? Sistem keamanan di sini
memang hebat,” sekali lagi pemuda berambut perak itu menjawab dengan santai.
Anastasia nampak tak suka dengan jawabannya, dia melemparkan 3 pisau kearah
musuhnya, namun dengan mudahnya ditangkis oleh pedang yang di bawa. Kali
inipemuda itu yang bergerak menuju Anastasia, namun pedangnya tertahan oleh dua
pisau milik Anastasia mereka saling tak bergeming karena saling mendorong satu
sama lain.
Mengambil kesempatan, Anastasia
menunduk dan mengincar kaki musuhnya dengan mencoba menyenggol dengan tendangan
dari bawah. Namun Anastasia kalah cepat karena pemdua berjubah itu sudah loncat
duluan dan menjauh.
“Aaah, sebisa mungkin aku tak ingin berurusan dengan pihak BoR secara langsung,” Pemuda itu menggaruk belakang kepalanya merasa terganggu.
“Aku akan mundur, lagipula tujuanku
sudah selesai. Sampai jumpa lagi Maid cantik~”
“Tunggu!” Anastasia tak bisa
membiarkan serangga penganggu pergi begitu saja.
“Hm?” Pemuda itu berbaik hati untuk
menunggu.
“Siapa namamu? “ Pertanyaan Anastasia
membuat sang pemuda tersenyum lebar.
“Evans, panggil saja seperti itu.
Suatu saat kita pasti akan bertemu lagi, aku yakin,” Mata mereka saling
bertemu. Namun sekejap sosok pemuda itu sudah hilang dari pandangan Anastasia.
Maid itu menghela nafas, dia langsung memandang ke bawah dan dilihatnya
pertarungan sudah selesai.
“Dengan ini, kumumkan Maida York
sebagai pemenang,” Katanya di seluruh penjuru pulau walau tak ada lagi yang
mendengar, bahkan sang pemenang sudah jatuh kecapekan.
Anastasia merasa sebal sekarang, dia
mengira semua akan berjalan dengan lancar. Namun apa yang terjadi sepertinya
satu peserta akan membawa masalah dalam berlangsungnya kompetisi ini.
“Maida York,” sebut Maid itu pelan.
Memandang lekat-lekat pemuda cantik yang mengaku sebagai perempuan yang kini
tergeletak tak sadarkan diri.
The
Successor – FIN
_______________________________________
0 komentar