Muriel Teffainia - Draft lel
19.18
Bagian 1 – Kebohongan dan Teman
Evie, nyonya
berumur 42 tahun memakai daster bercorak bunga anggrek. Rambutnya tertata rapi
dengan beberapa helai terbelit pada rol rambut berjumlah tujuh, ekspresi nyonya
ini tampak sebal. Menggedor pintu kamar nomor 203, tapi tak ada tanda-tanda
akan dibukakan. Dia mulai berkeringat dingin, sampai jumput rambut yang tak
ikut di rol melekat pada dahinya. Dia yakin ada orang di dalam, Muriel Teffania
siapa lagi? Mau sampai kapanpun gadis itu tak
akan bisa kabur darinya.
Sudah
berpuluh-puluh kali digedor tapi tak ada jawaban, dia mulai ragu karena merasa
memang tak ada orang di dalam. Apa lebih baik di bobol saja? Ya! Dia akan ambil
kunci cadangan untuk masuk ke kamar yang dia sewakan itu.
Evie merasa idenya
brilian, dengan langkah mantap dia hendak turun ke kamarnya melalui tangga besi
yang jadi satu-satunya jalan turun. Dan saat itu juga, ada pemuda memegang
ransel yang dipakainya, berjalan naik.
Kaoru namanya,
pemuda keturunan Jepang itu nampak tak suka berpapasan dengan Evie, ibu kosnya.
Kenapa?
“Kaoru! Mana
Muriel? Sudah kuketuk pintu kamar kalian tapi tak ada jawaban? Dia pasti
bersembunyi di dalam kan?” Kata Evie lantang sambil berkacak pinggang memegang
sisi lemak perutnya yang berlapis-lapis.
Kaoru hanya tersenyum
sabar.
“Muriel sepertinya
masih kuliah sampai malam, mau kusampaikan jika dia pulang?“
Nyonya bernama Evie
itu nampak percaya, Kaoru berbeda dengan
Muriel. Dia lebih tampan, dia lebih sopan, dan yang terpenting dia tak pernah
nunggak kalau masalah bayar uang bulanan. Tentu yang paling penting Kaoru
adalah seleranya, sepuluh tahun menjanda membuat wanita ini haus akan daun
muda.
“Baiklah, tolong
sampaikan padanya. Tampan~” nadanya menggoda. Mendekat sambil berusaha mencolek
dagu Kaoru, untungnya yang bersangkutan langsung mundur bersandar pada dinding
sambil tersenyum gugup. Inilah alasan kenapa Kaoru tak suka berpapasan dengan
Nyonya ini. Gayanya benar-benar tak sadar akan umur.
“Baiklah, aku ke
kamarku dulu. Selamat siang bibi!” Tak mau berlama-lama, Kaoru segera berjalan
cepat lanjut melangkahi anak tangga.
“Sudah ku bilang,
jangan panggil aku bibi!” Terdengar teriakan Nyonya Evie yang semakin lama
semakin samar begitu Kaoru menutup pintu setelah masuk ke kamar sewanya. Inilah
alasan, bagi Kaoru nyonya Evie adalah momok. Kalau bukan karena rumah sewanya
murah dan dekat dengan kampus, Kaoru tak akan betah di tempat ini. Padahal tadi
pagi dia sengaja berangkat jam enam hanya demi menghindar dari wanita tak sadar
umur itu, salah siapa Kaoru bisa bertemu dengannya?
“Oh men, Nyonya
Evie benar-benar mengerikan,” celetuk seseorang riang yang kini berdiri di ambang
pintu memandang Kaoru. Tanktop
berwarna hitam, celana kain berukuran ¾ , Iris berwarna Magenta dengan rambut
berwarna silver cocok dengan kulit
tubuhnya yang putih kekuningan.
Muriel Teffania
biang keladinya.
***
Mereka sudah jadi
teman sekamar sejak dua tahun. Awalnya Kaoru yang mendiami tempat ini, namun
enam bulan setelahnya Muriel datang bersama dengan Nyonya Evie di depan
kamarnya. Nona Evie nampak begitu senang saat itu. Bahkan sang Nyonya mau
repot-repot membantu Muriel membawa koper dan barang bawaannya ke kamar. Nyonya
Evie terkenal sebagai janda yang kaya, dan mungkin karena sudah lama sendirian
dia ingin segera mendapatkan pasangan. Andai saja nyonya Evie sadar diri dan
mencari pria lajang maupun duda yang seumuran dengannya, dia pasti sudah laku
sekarang. Sayang nyonya Evie terlalu berharap tinggi dan malah mengincar
berondong-berondong segar. Mungkin karena itu juga dia sengaja menyewakan rumah
susunnya untuk mahasiswa laki-laki.
Tunggu, bagaimana
dengan Muriel?
Yah tentu saja
gadis berparas ganteng itu sempat menipunya. Salah Muriel juga karena sempat
menggodanya hanya untuk menawar meringankan uang muka. Akibatnya? Kaoru masih
ingat benar Muriel berlari tergopoh-gopoh dengan hanya mengenakan tanktop dan celana pendek kembali ke
kamar sambil berkata.
“ASTAGA, ADA GORILA
HAMPIR JAMAH AKU!”
Kaoru tak
pernah—dan tak mau—bertanya tentang apa yang terjadi saat itu. Semenjak kejadian
tersebut, nyonya Evie nampak begitu kesal dengan Muriel. Kemudian? Targetnya mencari
brondong segar kembali lagi pada Kaoru.
Kaoru selesai
berganti pakaian setelah pulang dari kelas pagi. Muriel sendiri santai duduk di
lantai, menonton kartun televisi sambil menikmati minuman coklat bercampur
sereal yang layak dikategorikan ‘sarapan’.
“Bayar uang sewamu
gih. Bisa-bisa Nyonya Evie beneran bobol kamar loh.” Kata Kaoru yang bergabung
duduk di sofa yang menjadi sandaran Muriel di bawah. Menyalakan laptopnya
seperti biasa.
“Bayaranku masih
seminggu lagi, bayarin dulu bagaimana?” Muriel meneguk minuman hangatnya lagi.
“Kau lupa hutangmu
bulan lalu?” Kaoru menaikkan alis.
Muriel hanya
nyengir tak bersalah.
Mereka akhirnya
fokus pada kegiatannya. Muriel nampak menyimak kartun yang menceritakan bocah
yang berpetualang mencari tujuh bola naga yang mengabulkan semua keinginan.
Sudah belasan kali Muriel menonton acara ini, dan walau diulang-ulang terus dia
tak akan pernah bosan.
“Ah Muriel, coba
lihat ini,” Kaoru yang sedari tadi lurking
dengan laptop kesayangannya mendapat sesuatu. Muriel harus sedikit mundur agar
matanya bisa melihat konten apa yang ada di layar seukuran empatbelas inch
tersebut. Jelas dia melihat judul bertuliskan “SEMUA KEEPER BERKUMPUL DI WILAYAH
A, PERTANDA ADA HAL PENTING?”
“Keeper lagi? Suka sekali sih,” Muriel
jengah Kaoru selalu membahas hal yang sama.
“Ini di kota kita
kan? Keeper ada sedekat ini!” Kaoru
nampak bersemangat. Bagaimanapun dia mahasiswa jurnalistik yang cenderung
menyukai berita. Karena itu Kaoru tak pernah lepas dari laptop yang menjadi
penghubungnya dengan dunia Internet.
“Yaelah, walaupun
dekat memang kau tahu mereka menginap dimana? Kalaupun tahu memang kau bisa
masuk untuk wawancara?” Muriel memakai paha Kaoru sebagai sandarannya, membaca
kalimat demi kalimat yang tertulis pada forum diskusi sebuah forum lokal. Seperti
biasa internet selalu cepat, baru satu jam Topic
Starter memposting tulisannya, sudah puluhan komentar menimbun dengan
bervariasi tanggapan.
USER : philiplove!
HATI-HATI, INI KONSPIRASI MEREKA!
Apakah kalian percaya Keeper
benar-benar menjaga kita atas nama Dewa? Kejahatan masih tetap ada, kalian
jangan mau dimakan rayuan busuk mereka! Mereka sama sekali tak peduli dengan
kita!
Mereka pasti merencanakan
konspirasi untuk memanfaatkan kita semua! HATI-HATI!
“Eh waow...” Muriel
berdecak kagum melihat salah satu komentar yang nampak mengebu-gebu.
“Biasa kan? Banyak
yang komentar seperti itu,” Kaoru nampak tak kaget ataupun kagum.
“Bukan, harusnya
batas komentar empat puluh kata kan. Itu kok bisa 41?”
“...mana aku tahu,”
Muriel tetaplah Muriel, dia terlihat tak tertarik dengan tulisan yang dia
tunjukkan. Kaoru tak berkata apapun lagi dan mulai fokus browsing seputar topik
yang sama dengan tadi.
“Lagipula benar
komentar itu, kalian jangan terlalu percaya dengan mereka,” Muriel lanjut
berkomentar, kalian yang dimaksud tentu semua yang ada di dunia ini.
“Mereka orang-orang
pilihan Dewa, sudah sewajarnya mereka menjadi penguasa.” Balas Kaoru membela,
sudah menjadi pelajaran umum sejak kecil bahwa Keeper adalah penjaga sekaligus
dari dunia ini.
“Tapi mereka bukan
Dewa,” Muriel langsung menyela perkataan Kaoru. Mendongak untuk memandang lawan
bicaranya itu. Kaoru hanya diam saja, memandang balik Muriel. Tak selang berapa
lama, Kaoru menjepit hidung teman sekamarnya dengan dua jarinya.
“Jangan sampai kau
mengatakan itu di depan teman-teman kampusmu, kau bisa dikucilkan.” Perkataan
Kaoru semata-mata karena menghawatirkan Muriel.
“Tapi apa yang
kukatakan benar,” Nada perkataan Muriel terdengar tak senang. Dia lanjut
menonton televisi di hadapan mereka.
Samar-samar
terdengar getaran handphone, Kaoru yang menyadarinya terlebih dahulu.
Dilanjutkan dengan suara nada dering berjenis 8bit musik yang terdengar sangat
familiar, Kaoru ingat kalau nada dering itu sama dengan lagu pembuka acara
kartun yang biasa Muriel lihat—sekarang.
“Muriel,
handphonemu.” Kaoru menggoyang-goyangkan pahanya agar Muriel tak keenakan
bersandar di sana. Malas-malasan Muriel berdiri dan mengambil handphonenya yang
dia charger di atas meja makan. Nomor yang tertera di layar handphone membuat
dahi Muriel berkerut.
“Ya? Muriel di
sini,” sapanya kepada yang ada di seberang.
“...ugh.....baiklah,
tak usah dijemput aku bisa jalan sendiri— ..........mau tak mau aku harus ikut
kan?”
Muriel nampak tak
bersemangat membalas ucapan dari orang yang menelfon. Tak berapa lama
percakapan mereka berakhir. Muriel langsung bergegas ke kamarnya untuk ambil
berganti pakaian.
“Mau kemana?”
Teriak Kaoru begitu tahu Muriel nampak bergegas ingin pergi.
“Ada urusan
sebentar, cucian piring udah kuselesaiin.” Balas Muriel yang sibuk memakai
celana jeans hitam kesayangannya. Muriel tahu benar Kaoru pasti khawatir kalau
dirinya tak piket hari ini.
“Kaoru, mana
parkaku?” Panggil Muriel di kamar, menggeledah lemari mereka dan tak menemukan
parka favoritnya.
Kaoru langsung
datang setelah menggeledah tempat pakaian yang baru saja dia setrika. Muriel
langsung memakainya dan mengambil tas pinggang kecil yang dia ikatkan di depan.
“Jangan beli makan
malam, aku akan bawa makanan enak malam ini.” Nada bicara Muriel nampak yakin,
dia kembali ke ruang tengah dan membuka jendela menuju balkon sempit yang
langsung menghadap ke pagar belakang.
“...tak bisakah kau
lewat pintu depan saja?” Kaoru masih belum terbiasa dengan cara keluar Muriel.
“Beh! Dan bertemu
dengan Nyonya Evie? Kau gila?”
Jendela belakang
sudah jadi pintu masuk dan keluar Muriel jika uang sewa bulanannya telat bayar.
Setelah memasang sarung tangan miliknya, dia langsung memanjat pagar balkon
yang terbuat dari besi.
“Kalau bertemu
nyonya, bilang saja uang sewa kubayar minggu depan!” Katanya melambaikan
tangan, Muriel mendorong kakinya untuk melompat kedepan. Lompatannya cukup
tinggi, kedua tangan dia rentangkan, berhasil menggapai dahan kokoh dai pohon
tua yang jaraknya tak jauh dari balkon. Setelah itu dia mendorong tubuhnya
sendiri ke depan layaknya bandul dan melesat melewati pagar tinggi dengan mudah
menuju jalan kecil yang ada di belakang kos-kosannya.
Kaoru hanya
memperhatikan, dia tak tahu Muriel kemana. Gadis itu memang selalu sok
misterius.
***
Muriel berjalan
diiringi dua pria kekar dengan setelan jas rapi. Sorot mata mereka nampak
mengancam tapi memang begitulah pekerjaan mereka. Muriel sudah dikawal sejak
dirinya sampai di dome kebanggaan kotanya. Dome nampak sepi, tak ada acara
apapun. Biasanya tempat ini akan ramai apabila ada pertandingan olahraga
ataupun event tahunan, tapi kali ini begitu sunyi. Saat Muriel sampai di depan
dome saja, hanya ada dua orang ini. Mereka mengawal Muriel masuk ke dalam
lorong terang yang kosong.
Sampai di depan
pintu besar. Salah satu pria dibelakangnya mendekat.
“Maaf, handpone
anda...” tangannya terulur meminta alat komunikasi yang dibawa Muriel. Muriel menurut
menyerahkan handphone miliknya.
Dan barulah pintu
di hadapannya terbuka.
“Nah, aktris
terakhir sudah datang...” sambut seorang pria paruh baya dengan setelan jas
putih yang nampak mahal. Di hadapannya terdapat tiga orang lain yang duduk
sekaligus menghadap kearah Muriel yang baru saja datang. Mereka adalah salah
satu dari empat penjaga bagian tubuh dewa.
Tubuh
Kepala
Hati
Otak
Empat Keeper yang selalu diagung-agungkan
dunia. Empat orang yang selalu membuat Kaoru menatap layar laptopnya seharian.
Lalu kenapa Muriel ada di sana?
Tak ada yang tahu,
dewa memiliki satu hal lain yang dititipkan kepada manusia, bukan objek fisik
seperti empat lainnya. Tak ada yang menyangka bahwa dewa juga memiliki hal yang
sama seperti makhluk hidup yang lain.
Emosi
Muriel hanya
tersenyum.
“Aku lebih suka
dianggap Aktor.” Balasnya enteng, masuk ke dalam ruangan tersebut untuk
menyelesaikan rapat mereka.
***
Bagian 2 – [Muriel]
Sudah kelima
kalinya aku ikut ke pertemuan ini, semenjak tahun lalu. Bukan pertemuan yang
terlalu penting, tapi kami para Keeper
diwajibkan ikut karena suatu alasan. Aku duduk di kursi paling kanan, melihat
Pak Albart yang berdiri di hadapan kami, tak lupa layar besar yang menunjukkan
peta negara dengan beberapa tulisan
kecil berisi informasi penting, serta statistik tingkat kejahatan dan masalah
di tiap-tiap wilayah.
Di sebelahku
terdapat tiga orang lain. Semua adalah Keeper
sama sepertiku, total ada empat orang,
jika aku ikut. Jumlah yang kurang bukan? Ya, satu orang absen—dan mungkin tak
akan ikut pertemuan seperti ini untuk selamanya.
Mereka bukan orang
jahat, aku tahu itu. Tapi seperti layaknya penguasa lain, selalu ada sisi hitam
dan putih. Seperti yang selalu dikatakan Kaoru, Keeper selalu menjaga perdamaian setiap negara agar tak terjadi
peperangan. Itu adalah hal yang baik, tapi Kaoru tak tahu mereka tak segan
membunuh orang yang mengancam hanya demi perdamaian tersebut.
“Untukmu.” Kata seorang
wanita menyerahkan lembaran kertas yang di steples, dia adalah Nyonya Anwen. Dengan
baju terusan putih dan ornamen keemasan dilingkar pinggulnya dan tak lupa
kardigan coklat bulu polos menutup pundak sampai siku, jelas sekali pakaian
tersebut mahal. Wajahnya cantik, terlihat kerutan samar di wajahnya yang
menandakan dia sudah berumur empat puluh tahun, rambutnya sendiri sengaja dicat
coklat, aku bisa melihat uban-uban yang mulai muncul di pangkal rambutnya.
Walau begitu aku tetap menyebutnya cantik. Iris matanya berwarna coklat kemerahan,
begitu membara selaras dengan tatapannya yang lembut penuh kasih sayang.
“Terimakasih
nyonya, anda makin cantik saja.” Pujiku tulus. Nyonya Anwen hanya tersenyum.
Dia satu-satunya Keeper yang bisa aku
ajak bicara. Mungkin karena Nyonya Anwen
satu-satunya wanita di antara kami, atau karena sifat keibuannya yang selalu
membuatku terlena.
Berbeda dengan dua
orang lainnya. Disebelah Nyonya Anwen terdapat pria berkulit gelap namanya
Apep. Nama yang unik, tapi katanya itu nama yang umum di tempat tinggalnya, Mesir.
Perlu kuberitahu, bukan kulit hitam yang menonjol dari Apep tetapi fashionnya yang
bikin meriang. Pakaian yang dia kenakan sekarang membuatku merinding. Dia
terlihat tak memakai dalaman sama sekali, hanya vest ketat yang menempel
langsung dengan kulit, ditutupi jas yang tak dikancing. Dua item itu nampak kekecilan karena bagian
perut bawah masih terlihat. Untuk bawahannya seperti sebuah kain yang dililit sembarangan
kemudian di satukan di depan, diikat dengan sabuk kulit. Untung saja aku
melihat Apep masih memakai celana ketat hitam, bisa gila aku jika dia tak
memakai celana. Dan sudah kuberitahu semua pakaiannya berwarna sama? Silver.
Dan yang ada di
kursi paling kiri adalah orang yang tak akan bisa akur denganku. Dia
benar-benar seorang diktator. Aku tak hidup di jaman Hitler, tapi mungkin
mereka mirip. Berbeda dengan Nyonya Anwen yang sederhana atau Apep dengan
fashion yang bikin meriang, Pria ini memakai seragam lengkap dengan
lencana-lencana keemasan terkait di pakaian depan. Basilio namanya, Namanya mirip rumput yang
biasa digunakan untuk memasak. Paman-paman dari Italia tapi tak ada romantisnya
sama sekali. Rambutnya hampir sudah putih semua, nampaknya tak ada niatan untuk
menyembunyikan kalau dirinya sudah tua.
Dari empat orang
ini, aku yang paling muda. Mereka semua sudah berkeluarga dan bahkan Nyonya
Anwen akan memiliki cucu sebentar lagi. Hanya aku yang belum, terang saja
karena harusnya posisi ini untuk ibuku beberapa tahun yang lalu. Sudah menjadi
hukum kami apabila Keeper
meninggalkan dunia maka kekuatannya akan berlanjut pada keturunannya. Dan
kekuatan Ibu diturunkan padaku. Aku tak langsung bergabung dengan mereka begitu
aku mendapatkan kekuatan sebagai Keeper.
Baru beberapa tahun yang lalu, aku bergabung dengan syarat mereka mau
membantuku.
Memang benar harta
dan kekuasaan akan ada di genggaman. Tapi aku tak membutuhkan itu, setelah
tujuanku tercapai maka aku akan berhenti bekerjasama dengan mereka. Apep pernah
menyindirku mengatakan aku masih anak-anak sehingga tak mengerti apa itu
kekuasaan, dan langsung kubalas dengan sindiran dia juga anak-anak karena pakai
baju saja masih tak benar.
Oh untuk orang yang
ada di depan kami, Pak Albart. Dia adalah juru bicara kami, biasanya dia yang
bergerak lebih dulu untuk muncul dihadapan khalayak umum menyampaikan berita
demi berita. Katakanlah dia sang kaki tangan. Orangnya baik, tapi layaknya
bawahan dia pasti menuruti perintah dari para Keeper, apapun isi perintah itu.
Seperti biasa
pertemuan kami hanya membahas ini dan itu, masing-masing melaporkan tentang
hal-hal penting mengenai dunia—walau tak ada yang bisa aku laporkan, kegiatanku
hanya kuliah dan cari uang. Nyonya Anwen melaporkan tentang penyakit aneh di
suku pedalaman yang ada di Afrika namun sudah diselesaikan dengan bantuan kekuatan
dan kordinasi dari pemerintah. Setelah laporan Nyonya Anwen selesai, dilanjutkan
oleh Apep.
“Me, ingin mengajukan proposal untuk
kalian!” Katanya dengan penuh percaya diri. Layar besar berganti gambar menjadi
sketsa kasar model pakaian, entah sejak kapan datanya sudah tersimpan.
“Kita teralu outdated! Aku ingin semua Keeper memakai seragam sekarang.
Bukankah warna gold sangat cocok
untuk kita kenakan?”
Oh tidak, pria ini
sudah sinting.
Rasanya lama sekali
Apep menjelaskan mengenai rancangan yang katanya berasal dari kain paling bagus
serta desain paling spektkuler yang pernah dia buat. Namun percayalah kami
berempat sama sekali tak peduli. Nyonya Anwen masih berusaha untuk mengamati,
tapi yakin dia juga sebenarnya tak mau jika mereka harus memakai seragam norak
seperti itu.
Oh God.
Bayangkan jika iya, bisa ditertawakan Kaoru kalau aku menyimpan pakaian norak
di lemari.
“Itu tidak penting,
Apep.” Basilio mengerutkan kening, jelas tidak terlihat senang. Kami yang lain
mungkin tak merespon apa-apa tapi kami semua satu pendapat dengan Basilio.
Pria berpostur
tegap itu meninggalkan tempat duduknya. Secara tak langsung menyingkirkan Apep
dengan merebut panggungnya. Apep dengan muka tak senang kembali pada kursinya
sambil menyilangkan tangan, ngambek.
“Aku langsung saja
ke intinya,” Basilio memandangku dengan serius.
Dan otomatis mereka
yang lain juga memandangku.
“...Apa?” Jawabku
tak enak. Entah kenapa aku tahu kemana arah pembicaraan setelah ini.
“Kami memutuskan
untuk mengajak Bahram kembali di pertemuan selanjutnya.”
Ternyata
perkiraanku salah, arah pembicaraannya lebih buruk dari yang kubayangkan.
“Brengsek,
maksudmu?” Masa bodoh dengan tata krama, sedari tadi aku berusaha diam tapi
kali ini tak bisa. Mungkin ada penjelasan untuk keputusan itu, tapi apapun
penjelasannya kata brengsek akan keluar. Pria ini masih ingat dengan
kesepakatanku kan?
“Muriel Teffania—“ Aku
kesal ketika pria itu memanggilku dengan nama lengkap. Basilio berdiri tegak
dengan kedua tangan di belakang punggung, mirip sekali seperti guru olahraga
waktu aku SMP, sok penguasa.
“—Kami sudah
memutuskannya, masalah keluargamu bukan urusan kami. Yang terpenting adalah
kestabilan kita.” Pria tua itu
mengatakannya seakan keputusannya benar. Sudah kubilang aku tak akan bisa suka dengan
orang ini. Tapi justru karena itu aku paham Basilio yang mengatakannya padaku,
saat kucoba memandang Nyonya Anwen dan Apep mereka nampak sudah mengetahui
keputusan tadi. Bisa jadi mereka sengaja memilih Basilio untuk mengatakan hal
ini. Misal saja Apep yang mengatakannya, aku tak akan mengumpat dan langsung
melayangkan tinjuan penuh kebencian ke wajahnya yang terlihat kusam.
B*ngs*t.
“Dia buronan, dan
kalian ingin dia bergabung dengan kita?!”
“Untuk itu...” Pak
Albart kini yang merespon omonganku.
“Sesuai kesepakatan
kami, beliau sudah terbebas dari tuduhannya.” Nada bicara Pak Albart makin
melemah saat matanya bertemu dengan mataku. Aku sendiri tak tahu ekspresi apa
yang sedang kutunjukkan sekarang, aku tak bisa mengendalikan amarahku, bahkan bagian
tengah telapak tanganku mulai terasa sakit. Alasannya karena aku mengepalkan
tangan dengan begitu kuat.
Dia dibebaskan dari
tuduhan, setelah apa yang dia perbuat? Pembunuh itu dibebaskan begitu saja?
Jelas itu aneh. Aku berani bertaruh pria bajingan itu bertemu dengan Basilio (atau
mungkin Pak Albart) dan menjalin kerjasama busuk.
“Itu berarti kalian
menerima seorang pembunuh.” Persetan dengan ketenangan jiwa, apa yang kukatakan
benar.
“Muriel, tak ada
bukti bahwa dia yang membunuh ibumu. Karena itu dia dibebaskan dari tuduhan.
Sejak awal omonganmu tidak terbukti~” Suara yang menyebalkan itu jelas datang
dari mulut Apep, yang nampak girang melihatku penuh amarah melawan mereka yang
ada di sini. Dia tahu akan membuat masalah sehingga aku akan dikeluarkan
sebentar lagi.
Bukti? Aku
melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Aku sudah menceritakan panjang lebar
pada mereka. Berusaha menggali semua
kenangan buruk yang menghancurkan keluargaku.
Aku bahkan setuju
ikut bagian dalam kelompok ini hanya untuk mendapatkan kesempatan membunuhnya.
“Aku sudah menuruti
aturan-aturan sampah kalian selama ini hanya untuk menangkapnya.” Kutunjuk
wajah Basilio dengan jari tengah—sengaja.
“Dan kau! Kau
bertemu dengan dia kan? Dimana dia
sekarang?!” Tenggorokanku terasa panas, aku mulai membentak.
“Sudah Muriel.”
Kurasakan tepukan pelan di punggung, Nyonya Anwen berusaha menenangkanku yang
mungkin nampak emosi.
“Tetap keputusan
kami sudah bulat, kau kalah suara Muriel Teffania.”
Sudah kuduga, mereka
melakukan pertemuan rahasia. Mereka semua pasti sudah bertemu dengannya. Aku
tahu benar bagaimana mulut pria brengsek itu, manis dan penuh dengan
janji-janji kosong. Padahal Rencanaku untuk mencarinya sudah sempurna. Dengan
bantuan mereka, aku pasti dapat melacaknya. Lalu dia akan kuhabisi dengan
bantuan mereka juga.
Dengan dia sebagai penjahat
maka akan mudah membunuhnya, Tapi itu tak akan terjadi jika dia ada sebagai
pahlawan. Lalu untuk apa aku di sini?
Tak ada.
“Aku keluar.” Kataku memecahkan keheningan.
“Maksudmu Muriel?”
Nyonya Anwen yang ada di sebelahku bertanya.
“Aku keluar dari
sini, silahkan anggap dia sebagai sekutu. Dan berarti kalian akan kuanggap
sebagai musuh.” Ya, hanya itu konklusinya.
“Tujuanku tetap,
aku akan balas dendam. Kalau kalian menjadi sekutunya maka aku menjadi musuh
kalian.”
Kulihat Basilio melebarkan
sorot matanya, mungkin dia kesal karena perlawananku. Apep sendiri malah
terlihat senyum-senyum girang. Dia pasti senang karena tak perlu bertemu
denganku lagi. Aku tak bisa melihat ekspresi Nyonya Anwen saat ini karena dia
ada di sebelahku, tapi aku bisa merasakan rasa sedih dari sentuhan tangannya.
Lagi, suasana
menjadi hening sesaat. Tak ada yang berani berbicara.
“Baiklah, keluar
sekarang.”
Sudah kuduga
Basilio akan mengatakannya.
“Basilio!” Nyonya
Anwen nampak keberatan dengan keputusan itu. Tapi maaf Nyonya, pria tua ini
tahu kalau aku serius begitu juga aku. Kulepaskan pelan tangan Nyonya Anwen
dari punggung. Kusentuh lembut tangan itu, terlihat kerutan penuaan di punggung
tangannya.
Kucium punggung
tangannya penuh hormat.
“Jaga dirimu
baik-baik Nyonya.” Kuberikan senyum termanis padanya. Nyonya Anwen begitu baik
padaku selama ini. Dia sempat menawariku tinggal bersamanya tapi aku tak mau,
keluarga beliau sudah begitu ramai.
Sengaja aku tak
menyapa ketiga orang lainnya, untuk apa? Aku berjalan keluar, pintu otomatis
yang awalnya kulewati terbuka, dan dua bodyguard berkacamata hitam juga sudah
menunggu disana siap untuk mengantarkanku. Kepalaku terasa pusing, ingin
rasanya cepat-cepat pulang ke kamar kost. Mandi dengan shower dingin kemudian
makan sekenyang-kenyangnya dengan Kaoru kemudian tidur.
...
Tunggu.
Aku baru ingat.
Kenapa aku langsung pulang? Seharusnya aku menunggu sampai jamuan makan malam
dihidangkan. Aku sudah janji pada Kaoru akan membawakan makanan enak malam ini.
Sial.
***
Sesuai dugaanku
Kaoru marah. Sebuah pukulan di ubun-ubun sukses mendarat. Tapi untungnya masih
ada stok mie rebus, janji tetaplah janji jadi aku yang memasak mie rebus itu
dengan tambahan bayam dan tofu yang dicampur langsung dengan kuahnya, tak lupa
telur rebus yang dibagi dua untukku dan Kaoru. Sederhana tapi aku jamin enak. Kami
berdua makan bersama-sama.
Kaoru nampak terus
memperhatikanku, entahlah apa aku terlihat capek? Masalah tadi benar-benar
menghantuiku sekarang. Pria brengsek bernama Bahram itu dekat, dia pasti sudah
berkomunikasi dengan Basilio dan yang lain, bahkan Nyonya Anwen.
Aku masih
memikirkannya dengan tangan berusaha mengambil telur dengan garpu, berkali-kali
aku coba menusuk tapi tak ada tanda-tanda telur terambil, saat itulah aku
menurunkan padanganku untuk melihat.
Dan ternyata telur
jatahku sudah dimakan Kaoru diam-diam.
Kuberikan injakan
maut ke kakinya karena sebal. Kuselesaikan makanan dan langsung menuju kamar
mandi. Seperti biasa air panas tidak berfungsi. Entah apa yang dilakukan Nyonya
Evie, tagihan air sudah dibayar atau belum? Wanita tua itu benar-benar tak
becus menjadi ibu kos.
Setelah berusaha tak mengumpat merasakan dinginnya air yang
mengalir. Barulah aku beranjak ke tempat tidur. Menjatuhkan badanku begitu saja
ke pulau kapuk yang begitu nyaman.
Semua akan
baik-baik saja, semua akan berjalan lancar. Walau mereka akan jadi musuhku, itu
tak masalah. Yang jadi tujuanku hanya satu, membalas dendam. Aku tak peduli
jika itu harus membunuh seseorang, ataupun menentang Tuhan. Yang pasti aku
harus bertemu dan menghajar pria bernama Bahram.
Tidurlah.
Jika empat Keeper akan benar-benar menjadi musuhku,
apa aku bisa menang? Sesaat aku ragu.
Tidurlah dengan nyenyak.
Dan juga mengenai
‘hukum’ itu. Bukankah mustahil untukku membunuhnya? Tidak, seharusnya masih ada
cara lain. Ayo berpikir Muriel, berpikir lebih serius.
Inginnya.
Tapi perlahan
mataku mulai berat, tak butuh waktu lama sampai aku tak ingat apa yang terjadi
saat aku terlelap. Tapi aku mendapatkan mimpi aneh, beberapa orang nampak ada
di hadapanku. Mereka bercahaya, wajah
mereka juga tak jelas. Tapi yang aku
tahu, mereka mengatakan sesuatu padaku...
“...kau adalah Reverier,
dan dengan itu, mungkin kau bisa membuat Mahakarya
terbaik di Alam Mimpi. Mencapai apa
yang tidak mampu kau capai di duniamu.”
***
“Seperti katamu,
gadis itu keluar.”
“Berarti dia adalah
musuh kita sekarang. Bukankah lebih gampang?”
“Tapi kita tak akan
bisa membunuhnya. Jika dia mati maka keseimbangan dewa akan hancur.”
“Begitu juga aku
kan? Jika aku dia bunuh maka hal sama akan terjadi.”
“Lalu bagaimana?
Apa kita sekap dia?”
“Soal itu...biar
aku saja yang urus, lebih baik kau istirahat Basilio. Karena kau yang akan
mendapat peran besar untuk rencana selanjutnya.”
“Aku percaya
padamu, Bahram.”
Bagian 3 – [Kaoru]
Mau sampai kapan
dia molor seperti ini?
Kemarin malam dia
marah padaku hanya karena masalah telur. Tapi aku tahu sebenarnya dia tak mau
diganggu karena ada masalah. Tahu dari mana? Mungkin aku tak berbakat soal
sihir, tapi aku begitu unggul dalam hal analisa. Insting Muriel bisa dibilang
bagus, biasanya dia sudah bisa merasakan niat jahatku untuk mengambil lauk
makanannya bahkan sebelum kumulai. Tapi kemarin malam berbeda, dan aku tahu itu
karena dia resah dengan sesuatu.
Kupikir aku akan
menghiburnya hari ini, tapi nyatanya dia masih tertidur pulas. Hari ini hari
minggu, jadi mungkin aku bisa menghiburnya dengan jalan-jalan atau pergi ke
perpustakaan untuk mengerjakan tugas.
Ngomong-ngomong
sekarang sudah jam sembilan. Lebih baik aku menyiapkan sarapan sekarang.
Kubuka pintu kulkas
dan kudapati hanya sisa satu kotak susu milik Muriel dan roti tawar. Baru kuingat
roti itu sudah lewat masa kedaluarsa kemarin, tapi bukankah aman kalau ditaruh
kulkas?
...
Ya, pasti aman.
Kalau tidak mungkin kami berdua hanya sakit perut sesaat. Kuambil roti tersebut
dan kupanaskan panci dengan agar siap untuk menggoreng. Disaat seperti ini aku
berpikir kita haru membeli toaster agar lebih mudah. Setelah ke supermarket
untuk lihat harga, aku dan Muriel langsung mengurungkan niatan beli
dalam-dalam.
“Masih ada sisa
selai nanas gak?” Kutoleh Muriel yang baru saja bangun.
“Tak ada, tinggal Marshmallow Fluff punyaku, mau?”
“Tak masalah.” Kuambilkan
kaleng bening dengan Marshmallow Fluff
yang masih penuh dan kutaruh di meja. Tak memakan waktu untuk memanggang roti
di panci. Setelah warna tengahnya sudah kecoklatan, kuletakkan roti-roti itu
dipiring dan setelahnya kuserahkan pada Muriel yang sudah duduk di meja.
“Bahan-bahan
makanan sudah mau habis, nanti belanja?” Lumayan sekalian refreshing untuk
Muriel juga.
“Hm...” Muriel
menjawab dengan tak bersemangat, dia memakan rotinya senang. Sepertinya dia
kelaparan.
Aku juga mulai
makan, kami berdua lebih banyak diam saat di meja hari ini.
CEKLEK CEKLEK
Suara apa itu?
CEKLEK CEKLEK
Seperti ada orang
yang hendak membuka kunci. Kamar kami tak seberapa luas, dan satu-satunya
tempat yang terkunci hanyalah pintu depan. Tapi kami ada di dalam yang berarti
suara itu dihasilkan berasal dari luar kamar. Seseorang yang berusaha membuka
pintu dengan kunci dari luar.
Aku dan Muriel
saling memandang.
Nyonya Evie.
Bak terjadi gempa
bumi, Muriel buru-buru menggigit rotinya dan kabur ke kamar. Aku langsung
meraih piring, menyingkirkan barang bukti itu ke tempat cucian piring untuk
menghilangkan bukti bahwa Muriel ada di sini. Aku bergegas menuju depan pintu
menyambutnya. Dan sesuai dugaanku, wanita itu datang dengan tetap memakai
pakaian seperti kemarin, daster dan roll rambut.
“S-selamat siang
Nyonya Evie! Mencari Muriel? Dia belum pulang dari tadi siang.” Tak perlu
berpikir apa yang dilakukan Nyonya Evie sampai membuka apartemen dengan kunci
serep, tentu Muriel jawabannya.
Tapi Nyonya Evie
tak merespon, beda dengan ekspresi genit yang biasa dia tunjukkan padaku kali
ini tatapannya seakan kosong, wajahnya juga pucat. Apakah dia sakit?
Seakan tak
menghiraukan perkataanku, dia langsung masuk ke dalam rumah. Oh tidak aku harus
mencegahnya, Muriel belum bisa kabur dari kamar karena satu-satunya akses
keluar adalah balkon di ruang TV.
“N-nyonya Evie!”
Aku mempercepat langkahku dan berdiri di depannya sebelum dia masuk ke ruang
televisi. Terlihat tak sopan memang, tapi mau bagaimana lagi.
“Akan kusampaikan
pada Muriel kalau dia memang sudah pulang, dia tak ada di sini sekarang.” Aku
sengaja menyamakan langkahku ketika Nyonya Evie berusaha menghindariku agar
bisa menerobos masuk. Beberapa kalikami berkelit namun akhirnya Nyonya Evie
terhenti.
Dia menyerah?
Baguslah, padahal aku khawatir karena tindakanku jelas menandakan Muriel ada di
sini dana ku menyembunyikannya.
Namun apa yang
terjadi benar-benar diluar dugaan.
Aku merasakan
nafasku tertahan, mataku langsung terfokus pada Nyonya Evie yang ternyata
mencekikku di leher dengan begitu kuat. Aku langsung terhempas dilempar dan
menubruk sofa yang harus ikut terguling karena terkena badanku. Punggungku hanya terasa sakit, untung bukan
meja makan yang jadi tempatku terjatuh.
Seriously?
Sampai semarah itu Nyonya Evie? Tidak, jelas ini tidak beres. Ada yang aneh
dengan ibu kos kami.
Aku berusaha
bangkit dan melihat Nyonya Evie melihat ke arah kamar tapi keluar lagi. Apakah
Muriel sudah pergi? Berarti aku yang harus mengurusi Nyonya Evie—yang mendadak
beringas seperti kena rabies.
Kalau aku
menghajarnya, masih bisa disebut pertahanan diri kan? Setidaknya aku tak akan
kena hukum pidana.
“Sudah kubilang
Muriel tak ada di dalam kamar Nyonya, sekarang bisakah anda pergi?” Dan
kubereskan kekacauan yang sudah kau buat.
Nyonya Evie kembali
memandangku, tangannya melesat. Sesuai pengalaman yang kudapatkan satu menit
yang lalu, aku berusaha mundur. Kukira tangan gemuk itu tak akan sampai namun
aku salah. Sekali lagi Nyonya Evie mencengkram leherku, lebih buruknya
kurasakan punggungku sakit karena berbenturan dengan dinding. Sejak kapan
tenaga wanita sebesar ini?
Kakiku
bergerak-gerak cepat, baru kusadari aku tak menapaki lantai saat ini.
Nafasku serasa
terhenti, tulang kerongkonganku terasa sakit seperti tersentuh langsung oleh
jari-jari kuat milik Nyonya Evie. Oh apakah aku akan mati? Semesterku belum
berakhir, jalan menuju cita-citaku baru saja terbuka, aku tak mau mati ditangan
wanita janda yang gemuk, Tuhan, Dewa, atau siapapun tolong aku.
Hampir kupejamkan
mataku pasrah, namun samar-samar aku melihat seseorang berdiri di belakang Nyonya
Evie.
Dan semuanya nampak
putih.
***
“Bruuh, bruh...”
“Belum mati kan
bruh?”
Berisik.
Kubuka mataku,
kulihat langit-langit kamar kos kami. Perlahan sebuah kepala muncul di
pandanganku, wajah Muriel.
Punggungku masih
sakit, aku berusaha duduk dan bersandar pada dinding. Mataku menatap Nyonya
Evie yang terkapar pingsan disebelah Muriel.
“Apa yang terjadi?”
Belakang kepalaku juga terasa sakit.
Muriel tak menjawab, dia malah memperhatikan tubuh
Nyonya Evie yang terkapar, aku masih tak paham apa yang dilakukan Muriel.
Nyonya Evie masih bernafas, nampak tertidur dan tak ada luka sama sekali. Tapi
aku merasakan bau sedikit hangus disekujur tubuhnya.
Sesaat aku langsung ingat dengan sarung tangan Muriel.
“Kau setrum dia?!” Kupandang Muriel tak percaya. Muriel
langsung mengalihkan padangangannya dariku.
“T-tak ada cara lain!” Muriel masih ngotot kalau yang
dia lakukan itu benar. Oh God, semoga
kita tak akan dituntut Nyonya Evie ketika sadar nanti.
Muriel masih nampak menelusuri Nyonya Evie, seperti
mencari sesuatu. Dia mengangkat tangannya, lalu kaki. Dengan tak sopan menarik dasternya
ke atas untuk menelusuri pahanya.
Terakhir dia lepaskan sandalnya untuk memperhatikan telapak kakinya.
“Sudah kuduga.” Katanya memandang telapak kaki itu. Penasaran,
aku ikut dibelakang Muriel untuk memandangnya. Dan di telapak kaki itu terlihat
sebuah simbol berwarna merah bundar.
“Simbol apa itu?” Aku sama sekali tak tahu. Berbeda
denganku, Muriel nampak mengerti. Dia berdiri dan memandang pintu masuk
apartemen kami yang terbuka. Samar-samar
aku bisa mendengar suara ribut-ribut diluar.
Seperti ada yang hendak menuju ke kamar kami.
“Kaoru, bawa tasmu—apapun yang kau perlukan, kita
kabur.” Kata Muriel bergegas untuk mengambil pakaian dan juga barang-barangnya.
Aku tahu ini buruk.
Tanpa banyak bicara kubawa tas yang pasti berisi laptop
dan kamera. Muriel sendiri memakai kembali parka merah gelap kesayangannya,
sarung tangan yang memiliki daya setrum, dan aku yakin itu yang dia pakai
kepada Nyonya Evie tadi. Kami berdua keluar dari kamar.
Dan betapa kagetnya aku begitu kerumunan orang
berlomba-lomba memasuki kamar kos kami dengan muka beringas. Kukira ibu-ibu
yang mengejar toko yang sedang diskon sudah cukup menyeramkan, ternyata aku
salah.
Tunggu, bagaimana cara kita keluar?
Jangan bilang melalui tempat yang selalu dilalui teman
sekamarku itu.
“Apa yang kau lakukan? Cepat!” Kulihat kebelakang
Muriel sudah bersiap-siap melompat dari balkon.
Apa aku ada pilihan lain? Kakiku langsung bergerak
mengikuti Muriel. Aku memang tak atletis, tapi melihat Muriel selama ini
harusnya akan berjalan lancar. Muriel berada di sebelahku, kami berdua sama-sama
melihat dahan pohon yang menjadi pegangan untuk turun.
Sementara dibelakang aku bisa mendengar suara gemuruh
kaki semakin mendekat.
“Sekarang!”
Mendengar aba-aba aku langsung melompat, dengan
berusaha aku meraih dahan pohon bersama-sama dengan Muriel. Kukira akan
berjalan lancar, tapi setelah kupikir mungkin selama ini aman karena hanya satu
orang yang bergelayutan? Bagaimana jika dua orang?
CRACK!
See ?
Aku dan Muriel hanya saling berpandangan mendengar
suaranya. Sepersekian detik, kami jatuh.
***
Pantatku masih terasa sakit. Kami kini berlari
menyusuri komplek demi komplek rumah. Muriel ada di depanku, entah kenapa kami
sudah berlari selama sepuluh menit.
Dia belum menjelaskan apa-apa. Kenapa orang-orang tadi,
kenapa kita harus kabur. Apa yang terjadi? Aku masih jurnalis kelas rendah yang
diberi kesempatan meliput perobohan bangunan tua saja sudah senang, tak mungkin
aku punya musuh. Muriel hanya mahasiswa biasa yang suka nunggak kamar kos. Tak
mungkin tak bayar kamar kos saja sudah menjadi kriminal kan?
“Oi, kau tahu kenapa mereka begitu?” Aku sama sekali
tak mengerti.
Bukannya menjawabku, Muriel malah berhenti dan menoleh
sebuah rumah besar yang ada di pojok kanan pertigaan.
“Kaoru, apa rumah itu ada di sini sejak awal?” Kata Muriel
terheran-heran.
“Hng? Iya kan.” Kupandangi rumah itu merasa tak ada
yang aneh.
“Ini...rumah ala jepang.”
Kupandangi lagi lekat-lekat, tapi aku merasa tak aneh.
Memang rumah ini satu-satunya tapi memang sudah ada sejak lama kan? Mungkin
Muriel heran karena ini kali pertamanya lewat sini.
“...kau jarang lewat sini?” Kutanyai dengan heran.
Muriel memandangku sejenak dan tersenyum. “Iya, baru
pertama kali ini.”
Aku menghela nafas, aku yang harusnya bertanya banyak.
“Itu tadi kenapa? Kamar kos kita...dan kenapa kau harus
melakukan itu pada Nyonya Evie? Lalu orang-orang yang seenak masuk ke kamar
kita?.” Rasanya masih banyak yang mau kutanyakan.
“Wow-wow sabar, satu-satu.” Kata Muriel sambil
mengarahkan dua telapak tangannya padaku.
Aku menunggu.
“itu tadi bukan Nyonya Evie yang sesungguhnya, dia
hanya...ngg tunggu apa istilahnya, imitasi?”
Siapa yang bisa puas dengan jawaban itu? Aku memandang
Muriel dengan tatapan marah.
“Serius! Kau tahu sihir duplikasi kan?”
Aku tahu soal sihir duplikasi, sihir yang mengkopi struktur,
bentuk dan besar sebuah benda. tapi ini hanya digunakan untuk urusan pengopian
barang atau dokumen rahasia. Aku tahu hal tersebut, tapi mustahil itu dilakukan
pada makhluk hidup. Sampai sekarang sihir duplikasi pada makhluk hidup sama
sekali tak mungkin.
“Kau jangan main-main, itu mustahil.” Siapapun akan
berkata sepertiku.
“Tuh kan tak percaya,”
Muriel malah yang terlihat kesal.
“Yang bisa melakukannya hanya satu orang, dan orang itu
mengincarku.”
“Karena kau menunggak bayar kos?”
“Astaga super sekali kalau benar begitu,” Muriel
menjawab dengan bercanda.
“Karena ‘mereka’ mau menangkapku.”
Mereka? Tanpa mengatakannya Muriel paham kalau aku
kebingungan.
“Contohnya, pria banci yang ada di atas rumah itu.” Aku menoleh ke arah yang ditunjuk. Dan benar, ada
seseorang di sana.
“T-tunggu dulu.” Aku familiar dengan sosok itu.
“Bukankah dia Keeper
Apep?” Kataku kaget, baru kali ini aku melihatnya secara langsung. Fashionnya
yang norak itu, kulit hitam yang begitu mencolok, tidak salah lagi!
“Hai Muriel~” Nada suaranya melengking tanda senang, Keeper Apep langsung turun dengan mudah
di hadapan kami.
Apa yang kulihat nyata kan ?
Dia kenal Muriel? Kutoleh teman sekamarku itu, tapi
ekspresinya kecut menatap pria itu.
“Sudah kuduga ini perbuatan kalian, apa yang kau mau?”
Muriel tak menampakkan senyum sama sekali.
Aku tak mengerti apa yang terjadi, kalian yang dimaksud
adalah para keeper ?.
“Ngg bagaimana ya, jelasnya aku diperintahkan oleh dia
untuk menangkapmu~” Keeper Apep
berkacak pinggang tampak centil.
Muriel, ditangkap? Apa Muriel kriminal? Terlalu banyak
pertanyaan yang harus kulayangkan, tapi entah kenapa aku tak bisa bergerak,
seakan ada yang menekan tubuhku. Tanpa sadar aku berkeringat dingin dan meneguk
ludah gugup.
“Karena itu, jangan dendam pada me. Benarkan anak-anak?”
Aku menoleh ke sekitar dan kulihat puluhan singa sudah
mengitari tempat kami. Atap, gang kanan, kiri, belakang, sejak kapan? Semua singa
itu jantan dan sudah dewasa, surai-surainya berbeda dengan singa biasa karena
samar terlihat kobaran api. Jelas sekali bahwa singa itu memiliki gen mutasi
sehingga bisa memakai sihir, dan kutebak sihir yang mereka punya adalah sihir
api. Ini gila, bahkan kebun binatang yang ada di dekat sini hanya menampung 5
singa dalam satu kandang, dimana mereka semua datang?.
Aku menempel pada Muriel, aku tahu walau Muriel bisa
menaklukan Nyonya Evie yang lebih besar dari singa-singa ini,tapi melawan
puluhan singa? Muriel tak akan mampu. Satu-satunya cara yang bisa kulakukan
adalah kabur dengan teleportasi.
Bukan sombong, aku tak bisa bertarung tapi aku cukup pede
dengan sihir teleportasi. Aku bisa membawa Muriel dan kabur sekitar satu—tidak,
dua kilometer aku sanggup.
Tapi aku takut.
Apakah waktunya cukup?
Nyawaku bisa habis jika menjadi makanan mereka.
Butuh 1 menit untukku berkonsentrasi tak mungkin
singa-singa itu diam dalam waktu 1 menit.
Sekali lagi aku ditakuti rasa takut untuk mati,
melebihi saat diserang Nyonya Evie tadi. Pundakku kaku, mataku tak bisa tak
menatap singa-singa yang mulai mendekat dengan tatapan penuh rasa lapar.
“Oi.”
Kaget, tiba-tiba Muriel menepuk pundakku di saat kami
sudah semakin terpojok. Dia nampak heran melihatku, mungkin karena wajahku yang
nampak pucat memikirkan bagaimana kita akan mati nanti.
Tapi setelahnya dia tertawa.
“Tenanglah,” Kurasakan wajah Muriel mendekat ke
telingaku.
“Butuh waktu berapa menit?” katanya, dia satu pemikiran
denganku.
“1 menit...” Jawabku tak bohong.
“Bagaimana caranya? Kau ingin menyetrum semua singa di
sini?” Kataku, ini pemikiran paling logis.
Muriel begitu percaya diri tersenyum, sementara aku
begitu khawatir karena sudah dipastikan kita akan mati di sini.
“Jangan takut...dari wajahmu kelihatan tuh.” Katanya
enteng, menepuk sebentar pundakku yang terasa kaku. Sungguh, bagaimana Muriel
bisa santai di santai di keadaan seperti ini. Mereka mungkin akan membunuhnya
juga.
Mataku memandang punggungnya, tegap tak terlihat bahwa
dia seorang wanita jika dari sini. Namun tiba-tiba mataku teralihkan ke arah
anting kanan yang dia gunakan.
Sejak kapan warnanya berubah menjadi hijau?
Dan cahaya hijau itu tiba-tiba menyebar. Silau, aku
menyipitkan mata karena tak tahan. Kejadiannya begitu cepat, setidaknya butuh 3
detik mataku untuk membiasakan diri dan memandang kearah sumber cahaya.
Dan aku begitu kaget melihat Muriel kini berdiri dengan
panah panjang, yang paling mencolok adalah kristal hijaunya yang begitu besar,
entah darimana asalanya.
“Akan kuselesaikan ini dengan cepat!” Katanya lantang
tanpa ada rasa takut di sana.
0 komentar