Muriel Teffainia - Draft lel

19.18


Bagian 1 – Kebohongan dan Teman

Evie, nyonya berumur 42 tahun memakai daster bercorak bunga anggrek. Rambutnya tertata rapi dengan beberapa helai terbelit pada rol rambut berjumlah tujuh, ekspresi nyonya ini tampak sebal. Menggedor pintu kamar nomor 203, tapi tak ada tanda-tanda akan dibukakan. Dia mulai berkeringat dingin, sampai jumput rambut yang tak ikut di rol melekat pada dahinya. Dia yakin ada orang di dalam, Muriel Teffania siapa lagi? Mau sampai kapanpun gadis itu tak  akan bisa kabur darinya.

Sudah berpuluh-puluh kali digedor tapi tak ada jawaban, dia mulai ragu karena merasa memang tak ada orang di dalam. Apa lebih baik di bobol saja? Ya! Dia akan ambil kunci cadangan untuk masuk ke kamar yang dia sewakan itu.

Evie merasa idenya brilian, dengan langkah mantap dia hendak turun ke kamarnya melalui tangga besi yang jadi satu-satunya jalan turun. Dan saat itu juga, ada pemuda memegang ransel yang dipakainya, berjalan naik.

Kaoru namanya, pemuda keturunan Jepang itu nampak tak suka berpapasan dengan Evie, ibu kosnya. Kenapa?

“Kaoru! Mana Muriel? Sudah kuketuk pintu kamar kalian tapi tak ada jawaban? Dia pasti bersembunyi di dalam kan?” Kata Evie lantang sambil berkacak pinggang memegang sisi lemak perutnya yang berlapis-lapis.

Kaoru hanya tersenyum sabar.

“Muriel sepertinya masih kuliah sampai malam, mau kusampaikan jika dia pulang?“

Nyonya bernama Evie itu nampak percaya,  Kaoru berbeda dengan Muriel. Dia lebih tampan, dia lebih sopan, dan yang terpenting dia tak pernah nunggak kalau masalah bayar uang bulanan. Tentu yang paling penting Kaoru adalah seleranya, sepuluh tahun menjanda membuat wanita ini haus akan daun muda.

“Baiklah, tolong sampaikan padanya. Tampan~” nadanya menggoda. Mendekat sambil berusaha mencolek dagu Kaoru, untungnya yang bersangkutan langsung mundur bersandar pada dinding sambil tersenyum gugup. Inilah alasan kenapa Kaoru tak suka berpapasan dengan Nyonya ini. Gayanya benar-benar tak sadar akan umur.

“Baiklah, aku ke kamarku dulu. Selamat siang bibi!” Tak mau berlama-lama, Kaoru segera berjalan cepat lanjut melangkahi anak tangga.

“Sudah ku bilang, jangan panggil aku bibi!” Terdengar teriakan Nyonya Evie yang semakin lama semakin samar begitu Kaoru menutup pintu setelah masuk ke kamar sewanya. Inilah alasan, bagi Kaoru nyonya Evie adalah momok. Kalau bukan karena rumah sewanya murah dan dekat dengan kampus, Kaoru tak akan betah di tempat ini. Padahal tadi pagi dia sengaja berangkat jam enam hanya demi menghindar dari wanita tak sadar umur itu, salah siapa Kaoru bisa bertemu dengannya?

“Oh men, Nyonya Evie benar-benar mengerikan,” celetuk seseorang riang yang kini berdiri di ambang pintu memandang Kaoru. Tanktop berwarna hitam, celana kain berukuran ¾ , Iris berwarna Magenta dengan rambut berwarna silver cocok dengan kulit tubuhnya yang putih kekuningan.

Muriel Teffania biang keladinya.



***

Mereka sudah jadi teman sekamar sejak dua tahun. Awalnya Kaoru yang mendiami tempat ini, namun enam bulan setelahnya Muriel datang bersama dengan Nyonya Evie di depan kamarnya. Nona Evie nampak begitu senang saat itu. Bahkan sang Nyonya mau repot-repot membantu Muriel membawa koper dan barang bawaannya ke kamar. Nyonya Evie terkenal sebagai janda yang kaya, dan mungkin karena sudah lama sendirian dia ingin segera mendapatkan pasangan. Andai saja nyonya Evie sadar diri dan mencari pria lajang maupun duda yang seumuran dengannya, dia pasti sudah laku sekarang. Sayang nyonya Evie terlalu berharap tinggi dan malah mengincar berondong-berondong segar. Mungkin karena itu juga dia sengaja menyewakan rumah susunnya untuk mahasiswa laki-laki.

Tunggu, bagaimana dengan Muriel?

Yah tentu saja gadis berparas ganteng itu sempat menipunya. Salah Muriel juga karena sempat menggodanya hanya untuk menawar meringankan uang muka. Akibatnya? Kaoru masih ingat benar Muriel berlari tergopoh-gopoh dengan hanya mengenakan tanktop dan celana pendek kembali ke kamar sambil berkata.

“ASTAGA, ADA GORILA HAMPIR JAMAH AKU!”

Kaoru tak pernah—dan tak mau—bertanya tentang apa yang terjadi saat itu. Semenjak kejadian tersebut, nyonya Evie nampak begitu kesal dengan Muriel. Kemudian? Targetnya mencari brondong segar kembali lagi pada Kaoru.

Kaoru selesai berganti pakaian setelah pulang dari kelas pagi. Muriel sendiri santai duduk di lantai, menonton kartun televisi sambil menikmati minuman coklat bercampur sereal yang layak dikategorikan ‘sarapan’.  

“Bayar uang sewamu gih. Bisa-bisa Nyonya Evie beneran bobol kamar loh.” Kata Kaoru yang bergabung duduk di sofa yang menjadi sandaran Muriel di bawah. Menyalakan laptopnya seperti biasa.

“Bayaranku masih seminggu lagi, bayarin dulu bagaimana?” Muriel meneguk minuman hangatnya lagi.

“Kau lupa hutangmu bulan lalu?” Kaoru menaikkan alis.

Muriel hanya nyengir tak bersalah.

Mereka akhirnya fokus pada kegiatannya. Muriel nampak menyimak kartun yang menceritakan bocah yang berpetualang mencari tujuh bola naga yang mengabulkan semua keinginan. Sudah belasan kali Muriel menonton acara ini, dan walau diulang-ulang terus dia tak akan pernah bosan.

“Ah Muriel, coba lihat ini,” Kaoru yang sedari tadi lurking dengan laptop kesayangannya mendapat sesuatu. Muriel harus sedikit mundur agar matanya bisa melihat konten apa yang ada di layar seukuran empatbelas inch tersebut. Jelas dia melihat judul bertuliskan “SEMUA KEEPER BERKUMPUL DI WILAYAH A, PERTANDA ADA HAL PENTING?”

Keeper lagi? Suka sekali sih,” Muriel jengah Kaoru selalu membahas hal yang sama.

“Ini di kota kita kan? Keeper ada sedekat ini!” Kaoru nampak bersemangat. Bagaimanapun dia mahasiswa jurnalistik yang cenderung menyukai berita. Karena itu Kaoru tak pernah lepas dari laptop yang menjadi penghubungnya dengan dunia Internet.

“Yaelah, walaupun dekat memang kau tahu mereka menginap dimana? Kalaupun tahu memang kau bisa masuk untuk wawancara?” Muriel memakai paha Kaoru sebagai sandarannya, membaca kalimat demi kalimat yang tertulis pada forum diskusi sebuah forum lokal. Seperti biasa internet selalu cepat, baru satu jam Topic Starter memposting tulisannya, sudah puluhan komentar menimbun dengan bervariasi tanggapan.

USER : philiplove!

HATI-HATI, INI KONSPIRASI MEREKA!
Apakah kalian percaya Keeper benar-benar menjaga kita atas nama Dewa? Kejahatan masih tetap ada, kalian jangan mau dimakan rayuan busuk mereka! Mereka sama sekali tak peduli dengan kita!

Mereka pasti merencanakan konspirasi untuk memanfaatkan kita semua! HATI-HATI!

“Eh waow...” Muriel berdecak kagum melihat salah satu komentar yang nampak mengebu-gebu.

“Biasa kan? Banyak yang komentar seperti itu,” Kaoru nampak tak kaget ataupun kagum.

“Bukan, harusnya batas komentar empat puluh kata kan. Itu kok bisa 41?”

“...mana aku tahu,” Muriel tetaplah Muriel, dia terlihat tak tertarik dengan tulisan yang dia tunjukkan. Kaoru tak berkata apapun lagi dan mulai fokus browsing seputar topik yang sama dengan tadi.

“Lagipula benar komentar itu, kalian jangan terlalu percaya dengan mereka,” Muriel lanjut berkomentar, kalian yang dimaksud tentu semua yang ada di dunia ini.

“Mereka orang-orang pilihan Dewa, sudah sewajarnya mereka menjadi penguasa.” Balas Kaoru membela, sudah menjadi pelajaran umum sejak kecil bahwa Keeper adalah penjaga sekaligus dari dunia ini.

“Tapi mereka bukan Dewa,” Muriel langsung menyela perkataan Kaoru. Mendongak untuk memandang lawan bicaranya itu. Kaoru hanya diam saja, memandang balik Muriel. Tak selang berapa lama, Kaoru menjepit hidung teman sekamarnya dengan dua jarinya.

“Jangan sampai kau mengatakan itu di depan teman-teman kampusmu, kau bisa dikucilkan.” Perkataan Kaoru semata-mata karena menghawatirkan Muriel.

“Tapi apa yang kukatakan benar,” Nada perkataan Muriel terdengar tak senang. Dia lanjut menonton televisi di hadapan mereka.

Samar-samar terdengar getaran handphone, Kaoru yang menyadarinya terlebih dahulu. Dilanjutkan dengan suara nada dering berjenis 8bit musik yang terdengar sangat familiar, Kaoru ingat kalau nada dering itu sama dengan lagu pembuka acara kartun yang biasa Muriel lihat—sekarang.

“Muriel, handphonemu.” Kaoru menggoyang-goyangkan pahanya agar Muriel tak keenakan bersandar di sana. Malas-malasan Muriel berdiri dan mengambil handphonenya yang dia charger di atas meja makan. Nomor yang tertera di layar handphone membuat dahi Muriel berkerut.

“Ya? Muriel di sini,” sapanya kepada yang ada di seberang.
  
“...ugh.....baiklah, tak usah dijemput aku bisa jalan sendiri— ..........mau tak mau aku harus ikut kan?”

Muriel nampak tak bersemangat membalas ucapan dari orang yang menelfon. Tak berapa lama percakapan mereka berakhir. Muriel langsung bergegas ke kamarnya untuk ambil berganti pakaian.

“Mau kemana?” Teriak Kaoru begitu tahu Muriel nampak bergegas ingin pergi.

“Ada urusan sebentar, cucian piring udah kuselesaiin.” Balas Muriel yang sibuk memakai celana jeans hitam kesayangannya. Muriel tahu benar Kaoru pasti khawatir kalau dirinya tak piket hari ini.

“Kaoru, mana parkaku?” Panggil Muriel di kamar, menggeledah lemari mereka dan tak menemukan parka favoritnya.

Kaoru langsung datang setelah menggeledah tempat pakaian yang baru saja dia setrika. Muriel langsung memakainya dan mengambil tas pinggang kecil yang dia ikatkan di depan.

“Jangan beli makan malam, aku akan bawa makanan enak malam ini.” Nada bicara Muriel nampak yakin, dia kembali ke ruang tengah dan membuka jendela menuju balkon sempit yang langsung menghadap ke pagar belakang.  

“...tak bisakah kau lewat pintu depan saja?” Kaoru masih belum terbiasa dengan cara keluar Muriel.

“Beh! Dan bertemu dengan Nyonya Evie? Kau gila?”

Jendela belakang sudah jadi pintu masuk dan keluar Muriel jika uang sewa bulanannya telat bayar. Setelah memasang sarung tangan miliknya, dia langsung memanjat pagar balkon yang terbuat dari besi.

“Kalau bertemu nyonya, bilang saja uang sewa kubayar minggu depan!” Katanya melambaikan tangan, Muriel mendorong kakinya untuk melompat kedepan. Lompatannya cukup tinggi, kedua tangan dia rentangkan, berhasil menggapai dahan kokoh dai pohon tua yang jaraknya tak jauh dari balkon. Setelah itu dia mendorong tubuhnya sendiri ke depan layaknya bandul dan melesat melewati pagar tinggi dengan mudah menuju jalan kecil yang ada di belakang kos-kosannya.

Kaoru hanya memperhatikan, dia tak tahu Muriel kemana. Gadis itu memang selalu sok misterius.

***

Muriel berjalan diiringi dua pria kekar dengan setelan jas rapi. Sorot mata mereka nampak mengancam tapi memang begitulah pekerjaan mereka. Muriel sudah dikawal sejak dirinya sampai di dome kebanggaan kotanya. Dome nampak sepi, tak ada acara apapun. Biasanya tempat ini akan ramai apabila ada pertandingan olahraga ataupun event tahunan, tapi kali ini begitu sunyi. Saat Muriel sampai di depan dome saja, hanya ada dua orang ini. Mereka mengawal Muriel masuk ke dalam lorong terang yang kosong.

Sampai di depan pintu besar. Salah satu pria dibelakangnya mendekat.

“Maaf, handpone anda...” tangannya terulur meminta alat komunikasi yang dibawa Muriel. Muriel menurut menyerahkan handphone miliknya.

Dan barulah pintu di hadapannya terbuka.

“Nah, aktris terakhir sudah datang...” sambut seorang pria paruh baya dengan setelan jas putih yang nampak mahal. Di hadapannya terdapat tiga orang lain yang duduk sekaligus menghadap kearah Muriel yang baru saja datang. Mereka adalah salah satu dari empat penjaga bagian tubuh dewa.

Tubuh
Kepala
Hati
Otak

Empat Keeper yang selalu diagung-agungkan dunia. Empat orang yang selalu membuat Kaoru menatap layar laptopnya seharian. Lalu kenapa Muriel ada di sana?

Tak ada yang tahu, dewa memiliki satu hal lain yang dititipkan kepada manusia, bukan objek fisik seperti empat lainnya. Tak ada yang menyangka bahwa dewa juga memiliki hal yang sama seperti makhluk hidup yang lain.

Emosi

Muriel hanya tersenyum.

“Aku lebih suka dianggap Aktor.” Balasnya enteng, masuk ke dalam ruangan tersebut untuk menyelesaikan rapat mereka.

***

Bagian 2 – [Muriel]

Sudah kelima kalinya aku ikut ke pertemuan ini, semenjak tahun lalu. Bukan pertemuan yang terlalu penting, tapi kami para Keeper diwajibkan ikut karena suatu alasan. Aku duduk di kursi paling kanan, melihat Pak Albart yang berdiri di hadapan kami, tak lupa layar besar yang menunjukkan peta negara  dengan beberapa tulisan kecil berisi informasi penting, serta statistik tingkat kejahatan dan masalah di tiap-tiap wilayah.

Di sebelahku terdapat tiga orang lain. Semua adalah Keeper sama sepertiku,  total ada empat orang, jika aku ikut. Jumlah yang kurang bukan? Ya, satu orang absen—dan mungkin tak akan ikut pertemuan seperti ini untuk selamanya.

Mereka bukan orang jahat, aku tahu itu. Tapi seperti layaknya penguasa lain, selalu ada sisi hitam dan putih. Seperti yang selalu dikatakan Kaoru, Keeper selalu menjaga perdamaian setiap negara agar tak terjadi peperangan. Itu adalah hal yang baik, tapi Kaoru tak tahu mereka tak segan membunuh orang yang mengancam hanya demi perdamaian tersebut.  

“Untukmu.” Kata seorang wanita menyerahkan lembaran kertas yang di steples, dia adalah Nyonya Anwen. Dengan baju terusan putih dan ornamen keemasan dilingkar pinggulnya dan tak lupa kardigan coklat bulu polos menutup pundak sampai siku, jelas sekali pakaian tersebut mahal. Wajahnya cantik, terlihat kerutan samar di wajahnya yang menandakan dia sudah berumur empat puluh tahun, rambutnya sendiri sengaja dicat coklat, aku bisa melihat uban-uban yang mulai muncul di pangkal rambutnya. Walau begitu aku tetap menyebutnya cantik. Iris matanya berwarna coklat kemerahan, begitu membara selaras dengan tatapannya yang lembut penuh kasih sayang.

“Terimakasih nyonya, anda makin cantik saja.” Pujiku tulus. Nyonya Anwen hanya tersenyum. Dia satu-satunya Keeper yang bisa aku ajak bicara.  Mungkin karena Nyonya Anwen satu-satunya wanita di antara kami, atau karena sifat keibuannya yang selalu membuatku terlena.

Berbeda dengan dua orang lainnya. Disebelah Nyonya Anwen terdapat pria berkulit gelap namanya Apep. Nama yang unik, tapi katanya itu nama yang umum di tempat tinggalnya, Mesir. Perlu kuberitahu, bukan kulit hitam yang menonjol dari Apep tetapi fashionnya yang bikin meriang. Pakaian yang dia kenakan sekarang membuatku merinding. Dia terlihat tak memakai dalaman sama sekali, hanya vest ketat yang menempel langsung dengan kulit, ditutupi jas yang tak dikancing. Dua item itu nampak kekecilan karena bagian perut bawah masih terlihat. Untuk bawahannya seperti sebuah kain yang dililit sembarangan kemudian di satukan di depan, diikat dengan sabuk kulit. Untung saja aku melihat Apep masih memakai celana ketat hitam, bisa gila aku jika dia tak memakai celana. Dan sudah kuberitahu semua pakaiannya berwarna sama? Silver.

Dan yang ada di kursi paling kiri adalah orang yang tak akan bisa akur denganku. Dia benar-benar seorang diktator. Aku tak hidup di jaman Hitler, tapi mungkin mereka mirip. Berbeda dengan Nyonya Anwen yang sederhana atau Apep dengan fashion yang bikin meriang, Pria ini memakai seragam lengkap dengan lencana-lencana keemasan terkait di pakaian depan.  Basilio namanya, Namanya mirip rumput yang biasa digunakan untuk memasak. Paman-paman dari Italia tapi tak ada romantisnya sama sekali. Rambutnya hampir sudah putih semua, nampaknya tak ada niatan untuk menyembunyikan kalau dirinya sudah tua.

Dari empat orang ini, aku yang paling muda. Mereka semua sudah berkeluarga dan bahkan Nyonya Anwen akan memiliki cucu sebentar lagi. Hanya aku yang belum, terang saja karena harusnya posisi ini untuk ibuku beberapa tahun yang lalu. Sudah menjadi hukum kami apabila Keeper meninggalkan dunia maka kekuatannya akan berlanjut pada keturunannya. Dan kekuatan Ibu diturunkan padaku. Aku tak langsung bergabung dengan mereka begitu aku mendapatkan kekuatan sebagai Keeper. Baru beberapa tahun yang lalu, aku bergabung dengan syarat mereka mau membantuku.

Memang benar harta dan kekuasaan akan ada di genggaman. Tapi aku tak membutuhkan itu, setelah tujuanku tercapai maka aku akan berhenti bekerjasama dengan mereka. Apep pernah menyindirku mengatakan aku masih anak-anak sehingga tak mengerti apa itu kekuasaan, dan langsung kubalas dengan sindiran dia juga anak-anak karena pakai baju saja masih tak benar.

Oh untuk orang yang ada di depan kami, Pak Albart. Dia adalah juru bicara kami, biasanya dia yang bergerak lebih dulu untuk muncul dihadapan khalayak umum menyampaikan berita demi berita. Katakanlah dia sang kaki tangan. Orangnya baik, tapi layaknya bawahan dia pasti menuruti perintah dari para Keeper, apapun isi perintah itu.

Seperti biasa pertemuan kami hanya membahas ini dan itu, masing-masing melaporkan tentang hal-hal penting mengenai dunia—walau tak ada yang bisa aku laporkan, kegiatanku hanya kuliah dan cari uang. Nyonya Anwen melaporkan tentang penyakit aneh di suku pedalaman yang ada di Afrika namun sudah diselesaikan dengan bantuan kekuatan dan kordinasi dari pemerintah. Setelah laporan Nyonya Anwen selesai, dilanjutkan oleh Apep.

Me, ingin mengajukan proposal untuk kalian!” Katanya dengan penuh percaya diri. Layar besar berganti gambar menjadi sketsa kasar model pakaian, entah sejak kapan datanya sudah tersimpan.

“Kita teralu outdated! Aku ingin semua Keeper memakai seragam sekarang. Bukankah warna gold sangat cocok untuk kita kenakan?”

Oh tidak, pria ini sudah sinting.

Rasanya lama sekali Apep menjelaskan mengenai rancangan yang katanya berasal dari kain paling bagus serta desain paling spektkuler yang pernah dia buat. Namun percayalah kami berempat sama sekali tak peduli. Nyonya Anwen masih berusaha untuk mengamati, tapi yakin dia juga sebenarnya tak mau jika mereka harus memakai seragam norak seperti itu.

Oh God. Bayangkan jika iya, bisa ditertawakan Kaoru kalau aku menyimpan pakaian norak di lemari.

“Itu tidak penting, Apep.” Basilio mengerutkan kening, jelas tidak terlihat senang. Kami yang lain mungkin tak merespon apa-apa tapi kami semua satu pendapat dengan Basilio.

Pria berpostur tegap itu meninggalkan tempat duduknya. Secara tak langsung menyingkirkan Apep dengan merebut panggungnya. Apep dengan muka tak senang kembali pada kursinya sambil menyilangkan tangan, ngambek.

“Aku langsung saja ke intinya,” Basilio memandangku dengan serius.

Dan otomatis mereka yang lain juga memandangku.

“...Apa?” Jawabku tak enak. Entah kenapa aku tahu kemana arah pembicaraan setelah ini.

“Kami memutuskan untuk mengajak Bahram kembali di pertemuan selanjutnya.”

Ternyata perkiraanku salah, arah pembicaraannya lebih buruk dari yang kubayangkan.

“Brengsek, maksudmu?” Masa bodoh dengan tata krama, sedari tadi aku berusaha diam tapi kali ini tak bisa. Mungkin ada penjelasan untuk keputusan itu, tapi apapun penjelasannya kata brengsek akan keluar. Pria ini masih ingat dengan kesepakatanku kan?

“Muriel Teffania—“ Aku kesal ketika pria itu memanggilku dengan nama lengkap. Basilio berdiri tegak dengan kedua tangan di belakang punggung, mirip sekali seperti guru olahraga waktu aku SMP, sok penguasa.

“—Kami sudah memutuskannya, masalah keluargamu bukan urusan kami. Yang terpenting adalah kestabilan kita.”  Pria tua itu mengatakannya seakan keputusannya benar.  Sudah kubilang aku tak akan bisa suka dengan orang ini. Tapi justru karena itu aku paham Basilio yang mengatakannya padaku, saat kucoba memandang Nyonya Anwen dan Apep mereka nampak sudah mengetahui keputusan tadi. Bisa jadi mereka sengaja memilih Basilio untuk mengatakan hal ini. Misal saja Apep yang mengatakannya, aku tak akan mengumpat dan langsung melayangkan tinjuan penuh kebencian ke wajahnya yang terlihat kusam.

B*ngs*t.

“Dia buronan, dan kalian ingin dia bergabung dengan kita?!”

“Untuk itu...” Pak Albart kini yang merespon omonganku.

“Sesuai kesepakatan kami, beliau sudah terbebas dari tuduhannya.” Nada bicara Pak Albart makin melemah saat matanya bertemu dengan mataku. Aku sendiri tak tahu ekspresi apa yang sedang kutunjukkan sekarang, aku tak bisa mengendalikan amarahku, bahkan bagian tengah telapak tanganku mulai terasa sakit. Alasannya karena aku mengepalkan tangan dengan begitu kuat.

Dia dibebaskan dari tuduhan, setelah apa yang dia perbuat? Pembunuh itu dibebaskan begitu saja? Jelas itu aneh. Aku berani bertaruh pria bajingan itu bertemu dengan Basilio (atau mungkin Pak Albart) dan menjalin kerjasama busuk.

“Itu berarti kalian menerima seorang pembunuh.” Persetan dengan ketenangan jiwa, apa yang kukatakan benar.

“Muriel, tak ada bukti bahwa dia yang membunuh ibumu. Karena itu dia dibebaskan dari tuduhan. Sejak awal omonganmu tidak terbukti~” Suara yang menyebalkan itu jelas datang dari mulut Apep, yang nampak girang melihatku penuh amarah melawan mereka yang ada di sini. Dia tahu akan membuat masalah sehingga aku akan dikeluarkan sebentar lagi.

Bukti? Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Aku sudah menceritakan panjang lebar pada mereka.  Berusaha menggali semua kenangan buruk yang menghancurkan keluargaku.

Aku bahkan setuju ikut bagian dalam kelompok ini hanya untuk mendapatkan kesempatan membunuhnya.

“Aku sudah menuruti aturan-aturan sampah kalian selama ini hanya untuk menangkapnya.” Kutunjuk wajah Basilio dengan jari tengah—sengaja.

“Dan kau! Kau bertemu dengan dia kan?  Dimana dia sekarang?!” Tenggorokanku terasa panas, aku mulai membentak.

“Sudah Muriel.” Kurasakan tepukan pelan di punggung, Nyonya Anwen berusaha menenangkanku yang mungkin nampak emosi.

“Tetap keputusan kami sudah bulat, kau kalah suara Muriel Teffania.”

Sudah kuduga, mereka melakukan pertemuan rahasia. Mereka semua pasti sudah bertemu dengannya. Aku tahu benar bagaimana mulut pria brengsek itu, manis dan penuh dengan janji-janji kosong. Padahal Rencanaku untuk mencarinya sudah sempurna. Dengan bantuan mereka, aku pasti dapat melacaknya. Lalu dia akan kuhabisi dengan bantuan mereka juga.

Dengan dia sebagai penjahat maka akan mudah membunuhnya, Tapi itu tak akan terjadi jika dia ada sebagai pahlawan. Lalu untuk apa aku di sini?

Tak ada.

“Aku keluar.”  Kataku memecahkan keheningan.

“Maksudmu Muriel?” Nyonya Anwen yang ada di sebelahku bertanya.

“Aku keluar dari sini, silahkan anggap dia sebagai sekutu. Dan berarti kalian akan kuanggap sebagai musuh.” Ya, hanya itu konklusinya.

“Tujuanku tetap, aku akan balas dendam. Kalau kalian menjadi sekutunya maka aku menjadi musuh kalian.”

Kulihat Basilio melebarkan sorot matanya, mungkin dia kesal karena perlawananku. Apep sendiri malah terlihat senyum-senyum girang. Dia pasti senang karena tak perlu bertemu denganku lagi. Aku tak bisa melihat ekspresi Nyonya Anwen saat ini karena dia ada di sebelahku, tapi aku bisa merasakan rasa sedih dari sentuhan tangannya.

Lagi, suasana menjadi hening sesaat. Tak ada yang berani berbicara.

“Baiklah, keluar sekarang.”

Sudah kuduga Basilio akan mengatakannya.

“Basilio!” Nyonya Anwen nampak keberatan dengan keputusan itu. Tapi maaf Nyonya, pria tua ini tahu kalau aku serius begitu juga aku. Kulepaskan pelan tangan Nyonya Anwen dari punggung. Kusentuh lembut tangan itu, terlihat kerutan penuaan di punggung tangannya.

Kucium punggung tangannya penuh hormat.

“Jaga dirimu baik-baik Nyonya.” Kuberikan senyum termanis padanya. Nyonya Anwen begitu baik padaku selama ini. Dia sempat menawariku tinggal bersamanya tapi aku tak mau, keluarga beliau sudah begitu ramai.

Sengaja aku tak menyapa ketiga orang lainnya, untuk apa? Aku berjalan keluar, pintu otomatis yang awalnya kulewati terbuka, dan dua bodyguard berkacamata hitam juga sudah menunggu disana siap untuk mengantarkanku. Kepalaku terasa pusing, ingin rasanya cepat-cepat pulang ke kamar kost. Mandi dengan shower dingin kemudian makan sekenyang-kenyangnya dengan Kaoru kemudian tidur.

...

Tunggu.

Aku baru ingat. Kenapa aku langsung pulang? Seharusnya aku menunggu sampai jamuan makan malam dihidangkan. Aku sudah janji pada Kaoru akan membawakan makanan enak malam ini.

Sial.

*** 

Sesuai dugaanku Kaoru marah. Sebuah pukulan di ubun-ubun sukses mendarat. Tapi untungnya masih ada stok mie rebus, janji tetaplah janji jadi aku yang memasak mie rebus itu dengan tambahan bayam dan tofu yang dicampur langsung dengan kuahnya, tak lupa telur rebus yang dibagi dua untukku dan Kaoru. Sederhana tapi aku jamin enak. Kami berdua makan bersama-sama.

Kaoru nampak terus memperhatikanku, entahlah apa aku terlihat capek? Masalah tadi benar-benar menghantuiku sekarang. Pria brengsek bernama Bahram itu dekat, dia pasti sudah berkomunikasi dengan Basilio dan yang lain, bahkan Nyonya Anwen.

Aku masih memikirkannya dengan tangan berusaha mengambil telur dengan garpu, berkali-kali aku coba menusuk tapi tak ada tanda-tanda telur terambil, saat itulah aku menurunkan padanganku untuk melihat.

Dan ternyata telur jatahku sudah dimakan Kaoru diam-diam.

Kuberikan injakan maut ke kakinya karena sebal. Kuselesaikan makanan dan langsung menuju kamar mandi. Seperti biasa air panas tidak berfungsi. Entah apa yang dilakukan Nyonya Evie, tagihan air sudah dibayar atau belum? Wanita tua itu benar-benar tak becus menjadi ibu kos.

Setelah berusaha  tak mengumpat merasakan dinginnya air yang mengalir. Barulah aku beranjak ke tempat tidur. Menjatuhkan badanku begitu saja ke pulau kapuk yang begitu nyaman.

Semua akan baik-baik saja, semua akan berjalan lancar. Walau mereka akan jadi musuhku, itu tak masalah. Yang jadi tujuanku hanya satu, membalas dendam. Aku tak peduli jika itu harus membunuh seseorang, ataupun menentang Tuhan. Yang pasti aku harus bertemu dan menghajar pria bernama Bahram.

Tidurlah.

Jika empat Keeper akan benar-benar menjadi musuhku, apa aku bisa menang? Sesaat aku ragu.

Tidurlah dengan nyenyak.

Dan juga mengenai ‘hukum’ itu. Bukankah mustahil untukku membunuhnya? Tidak, seharusnya masih ada cara lain. Ayo berpikir Muriel, berpikir lebih serius.

Inginnya.

Tapi perlahan mataku mulai berat, tak butuh waktu lama sampai aku tak ingat apa yang terjadi saat aku terlelap. Tapi aku mendapatkan mimpi aneh, beberapa orang nampak ada di hadapanku. Mereka bercahaya,  wajah mereka juga tak jelas.  Tapi yang aku tahu, mereka mengatakan sesuatu padaku...

“...kau adalah Reverier, dan dengan itu, mungkin kau bisa membuat Mahakarya terbaik di Alam Mimpi. Mencapai apa yang tidak mampu kau capai di duniamu.”


***

“Seperti katamu, gadis itu keluar.”

“Berarti dia adalah musuh kita sekarang. Bukankah lebih gampang?”

“Tapi kita tak akan bisa membunuhnya. Jika dia mati maka keseimbangan dewa akan hancur.”

“Begitu juga aku kan? Jika aku dia bunuh maka hal sama akan terjadi.”
“Lalu bagaimana? Apa kita sekap dia?”

“Soal itu...biar aku saja yang urus, lebih baik kau istirahat Basilio. Karena kau yang akan mendapat peran besar untuk rencana selanjutnya.”

“Aku percaya padamu, Bahram.”


Bagian 3 – [Kaoru]

Mau sampai kapan dia molor seperti ini?

Kemarin malam dia marah padaku hanya karena masalah telur. Tapi aku tahu sebenarnya dia tak mau diganggu karena ada masalah. Tahu dari mana? Mungkin aku tak berbakat soal sihir, tapi aku begitu unggul dalam hal analisa. Insting Muriel bisa dibilang bagus, biasanya dia sudah bisa merasakan niat jahatku untuk mengambil lauk makanannya bahkan sebelum kumulai. Tapi kemarin malam berbeda, dan aku tahu itu karena dia resah dengan sesuatu.

Kupikir aku akan menghiburnya hari ini, tapi nyatanya dia masih tertidur pulas. Hari ini hari minggu, jadi mungkin aku bisa menghiburnya dengan jalan-jalan atau pergi ke perpustakaan untuk mengerjakan tugas.

Ngomong-ngomong sekarang sudah jam sembilan. Lebih baik aku menyiapkan sarapan sekarang.

Kubuka pintu kulkas dan kudapati hanya sisa satu kotak susu milik Muriel dan roti tawar. Baru kuingat roti itu sudah lewat masa kedaluarsa kemarin, tapi bukankah aman kalau ditaruh kulkas?

...

Ya, pasti aman. Kalau tidak mungkin kami berdua hanya sakit perut sesaat. Kuambil roti tersebut dan kupanaskan panci dengan agar siap untuk menggoreng. Disaat seperti ini aku berpikir kita haru membeli toaster agar lebih mudah. Setelah ke supermarket untuk lihat harga, aku dan Muriel langsung mengurungkan niatan beli dalam-dalam.

“Masih ada sisa selai nanas gak?” Kutoleh Muriel yang baru saja bangun.

“Tak ada, tinggal Marshmallow Fluff punyaku, mau?”

“Tak masalah.” Kuambilkan kaleng bening dengan Marshmallow Fluff yang masih penuh dan kutaruh di meja. Tak memakan waktu untuk memanggang roti di panci. Setelah warna tengahnya sudah kecoklatan, kuletakkan roti-roti itu dipiring dan setelahnya kuserahkan pada Muriel yang sudah duduk di meja.

“Bahan-bahan makanan sudah mau habis, nanti belanja?” Lumayan sekalian refreshing untuk Muriel juga.

“Hm...” Muriel menjawab dengan tak bersemangat, dia memakan rotinya senang. Sepertinya dia kelaparan.

Aku juga mulai makan, kami berdua lebih banyak diam saat di meja hari ini.

CEKLEK CEKLEK

Suara apa itu?

CEKLEK CEKLEK

Seperti ada orang yang hendak membuka kunci. Kamar kami tak seberapa luas, dan satu-satunya tempat yang terkunci hanyalah pintu depan. Tapi kami ada di dalam yang berarti suara itu dihasilkan berasal dari luar kamar. Seseorang yang berusaha membuka pintu dengan kunci dari luar.

Aku dan Muriel saling memandang.

Nyonya Evie.

Bak terjadi gempa bumi, Muriel buru-buru menggigit rotinya dan kabur ke kamar. Aku langsung meraih piring, menyingkirkan barang bukti itu ke tempat cucian piring untuk menghilangkan bukti bahwa Muriel ada di sini. Aku bergegas menuju depan pintu menyambutnya. Dan sesuai dugaanku, wanita itu datang dengan tetap memakai pakaian seperti kemarin, daster dan roll rambut.

“S-selamat siang Nyonya Evie! Mencari Muriel? Dia belum pulang dari tadi siang.” Tak perlu berpikir apa yang dilakukan Nyonya Evie sampai membuka apartemen dengan kunci serep, tentu Muriel jawabannya.

Tapi Nyonya Evie tak merespon, beda dengan ekspresi genit yang biasa dia tunjukkan padaku kali ini tatapannya seakan kosong, wajahnya juga pucat. Apakah dia sakit?

Seakan tak menghiraukan perkataanku, dia langsung masuk ke dalam rumah. Oh tidak aku harus mencegahnya, Muriel belum bisa kabur dari kamar karena satu-satunya akses keluar adalah balkon di ruang TV.

“N-nyonya Evie!” Aku mempercepat langkahku dan berdiri di depannya sebelum dia masuk ke ruang televisi. Terlihat tak sopan memang, tapi mau bagaimana lagi.

“Akan kusampaikan pada Muriel kalau dia memang sudah pulang, dia tak ada di sini sekarang.” Aku sengaja menyamakan langkahku ketika Nyonya Evie berusaha menghindariku agar bisa menerobos masuk. Beberapa kalikami berkelit namun akhirnya Nyonya Evie terhenti.

Dia menyerah? Baguslah, padahal aku khawatir karena tindakanku jelas menandakan Muriel ada di sini dana ku menyembunyikannya.

Namun apa yang terjadi benar-benar diluar dugaan.

Aku merasakan nafasku tertahan, mataku langsung terfokus pada Nyonya Evie yang ternyata mencekikku di leher dengan begitu kuat. Aku langsung terhempas dilempar dan menubruk sofa yang harus ikut terguling karena terkena badanku.  Punggungku hanya terasa sakit, untung bukan meja makan yang jadi tempatku terjatuh.

Seriously? Sampai semarah itu Nyonya Evie? Tidak, jelas ini tidak beres. Ada yang aneh dengan ibu kos kami.

Aku berusaha bangkit dan melihat Nyonya Evie melihat ke arah kamar tapi keluar lagi. Apakah Muriel sudah pergi? Berarti aku yang harus mengurusi Nyonya Evie—yang mendadak beringas seperti kena rabies.

Kalau aku menghajarnya, masih bisa disebut pertahanan diri kan? Setidaknya aku tak akan kena hukum pidana.

“Sudah kubilang Muriel tak ada di dalam kamar Nyonya, sekarang bisakah anda pergi?” Dan kubereskan kekacauan yang sudah kau buat.

Nyonya Evie kembali memandangku, tangannya melesat. Sesuai pengalaman yang kudapatkan satu menit yang lalu, aku berusaha mundur. Kukira tangan gemuk itu tak akan sampai namun aku salah. Sekali lagi Nyonya Evie mencengkram leherku, lebih buruknya kurasakan punggungku sakit karena berbenturan dengan dinding. Sejak kapan tenaga wanita sebesar ini?

Kakiku bergerak-gerak cepat, baru kusadari aku tak menapaki lantai saat ini.

Nafasku serasa terhenti, tulang kerongkonganku terasa sakit seperti tersentuh langsung oleh jari-jari kuat milik Nyonya Evie. Oh apakah aku akan mati? Semesterku belum berakhir, jalan menuju cita-citaku baru saja terbuka, aku tak mau mati ditangan wanita janda yang gemuk, Tuhan, Dewa, atau siapapun tolong aku.

Hampir kupejamkan mataku pasrah, namun samar-samar aku melihat seseorang berdiri di belakang Nyonya Evie.

Dan semuanya nampak putih.

***

“Bruuh, bruh...”

“Belum mati kan bruh?”

Berisik.

Kubuka mataku, kulihat langit-langit kamar kos kami. Perlahan sebuah kepala muncul di pandanganku, wajah Muriel.

Punggungku masih sakit, aku berusaha duduk dan bersandar pada dinding. Mataku menatap Nyonya Evie yang terkapar pingsan disebelah Muriel.

“Apa yang terjadi?” Belakang kepalaku juga terasa sakit.

Muriel tak menjawab, dia malah memperhatikan tubuh Nyonya Evie yang terkapar, aku masih tak paham apa yang dilakukan Muriel. Nyonya Evie masih bernafas, nampak tertidur dan tak ada luka sama sekali. Tapi aku merasakan bau sedikit hangus disekujur tubuhnya.

Sesaat aku langsung ingat dengan sarung tangan Muriel.

“Kau setrum dia?!” Kupandang Muriel tak percaya. Muriel langsung mengalihkan padangangannya dariku.

“T-tak ada cara lain!” Muriel masih ngotot kalau yang dia lakukan itu benar. Oh God, semoga kita tak akan dituntut Nyonya Evie ketika sadar nanti.

Muriel masih nampak menelusuri Nyonya Evie, seperti mencari sesuatu. Dia mengangkat tangannya, lalu kaki. Dengan tak sopan menarik dasternya  ke atas untuk menelusuri pahanya. Terakhir dia lepaskan sandalnya untuk memperhatikan telapak kakinya.

“Sudah kuduga.” Katanya memandang telapak kaki itu. Penasaran, aku ikut dibelakang Muriel untuk memandangnya. Dan di telapak kaki itu terlihat sebuah simbol berwarna merah bundar.

“Simbol apa itu?” Aku sama sekali tak tahu. Berbeda denganku, Muriel nampak mengerti. Dia berdiri dan memandang pintu masuk apartemen kami yang terbuka.  Samar-samar aku bisa mendengar suara ribut-ribut diluar.

Seperti ada yang hendak menuju ke kamar kami.

“Kaoru, bawa tasmu—apapun yang kau perlukan, kita kabur.” Kata Muriel bergegas untuk mengambil pakaian dan juga barang-barangnya.

Aku tahu ini buruk.

Tanpa banyak bicara kubawa tas yang pasti berisi laptop dan kamera. Muriel sendiri memakai kembali parka merah gelap kesayangannya, sarung tangan yang memiliki daya setrum, dan aku yakin itu yang dia pakai kepada Nyonya Evie tadi. Kami berdua keluar dari kamar.

Dan betapa kagetnya aku begitu kerumunan orang berlomba-lomba memasuki kamar kos kami dengan muka beringas. Kukira ibu-ibu yang mengejar toko yang sedang diskon sudah cukup menyeramkan, ternyata aku salah.

Tunggu, bagaimana cara kita keluar?

Jangan bilang melalui tempat yang selalu dilalui teman sekamarku itu.

“Apa yang kau lakukan? Cepat!” Kulihat kebelakang Muriel sudah bersiap-siap melompat dari balkon.

Apa aku ada pilihan lain? Kakiku langsung bergerak mengikuti Muriel. Aku memang tak atletis, tapi melihat Muriel selama ini harusnya akan berjalan lancar. Muriel berada di sebelahku, kami berdua sama-sama melihat dahan pohon yang menjadi pegangan untuk turun.

Sementara dibelakang aku bisa mendengar suara gemuruh kaki semakin mendekat.

“Sekarang!”

Mendengar aba-aba aku langsung melompat, dengan berusaha aku meraih dahan pohon bersama-sama dengan Muriel. Kukira akan berjalan lancar, tapi setelah kupikir mungkin selama ini aman karena hanya satu orang yang bergelayutan? Bagaimana jika dua orang?

CRACK!

See ?

Aku dan Muriel hanya saling berpandangan mendengar suaranya. Sepersekian detik, kami jatuh.

***

Pantatku masih terasa sakit. Kami kini berlari menyusuri komplek demi komplek rumah. Muriel ada di depanku, entah kenapa kami sudah berlari selama sepuluh menit.

Dia belum menjelaskan apa-apa. Kenapa orang-orang tadi, kenapa kita harus kabur. Apa yang terjadi? Aku masih jurnalis kelas rendah yang diberi kesempatan meliput perobohan bangunan tua saja sudah senang, tak mungkin aku punya musuh. Muriel hanya mahasiswa biasa yang suka nunggak kamar kos. Tak mungkin tak bayar kamar kos saja sudah menjadi kriminal kan?

“Oi, kau tahu kenapa mereka begitu?” Aku sama sekali tak mengerti.

Bukannya menjawabku, Muriel malah berhenti dan menoleh sebuah rumah besar yang ada di pojok kanan pertigaan.

“Kaoru, apa rumah itu ada di sini sejak awal?” Kata Muriel terheran-heran.

“Hng? Iya kan.” Kupandangi rumah itu merasa tak ada yang aneh.

“Ini...rumah ala jepang.”

Kupandangi lagi lekat-lekat, tapi aku merasa tak aneh. Memang rumah ini satu-satunya tapi memang sudah ada sejak lama kan? Mungkin Muriel heran karena ini kali pertamanya lewat sini.

“...kau jarang lewat sini?” Kutanyai dengan heran.

Muriel memandangku sejenak dan tersenyum. “Iya, baru pertama kali ini.”

Aku menghela nafas, aku yang harusnya bertanya banyak.

“Itu tadi kenapa? Kamar kos kita...dan kenapa kau harus melakukan itu pada Nyonya Evie? Lalu orang-orang yang seenak masuk ke kamar kita?.” Rasanya masih banyak yang mau kutanyakan.

“Wow-wow sabar, satu-satu.” Kata Muriel sambil mengarahkan dua telapak tangannya padaku.

Aku menunggu.

“itu tadi bukan Nyonya Evie yang sesungguhnya, dia hanya...ngg tunggu apa istilahnya, imitasi?”

Siapa yang bisa puas dengan jawaban itu? Aku memandang Muriel dengan tatapan marah.

“Serius! Kau tahu sihir duplikasi kan?”

Aku tahu soal sihir duplikasi, sihir yang mengkopi struktur, bentuk dan besar sebuah benda. tapi ini hanya digunakan untuk urusan pengopian barang atau dokumen rahasia. Aku tahu hal tersebut, tapi mustahil itu dilakukan pada makhluk hidup. Sampai sekarang sihir duplikasi pada makhluk hidup sama sekali tak mungkin.

“Kau jangan main-main, itu mustahil.” Siapapun akan berkata sepertiku.

“Tuh kan tak percaya,”  Muriel malah yang terlihat kesal.

“Yang bisa melakukannya hanya satu orang, dan orang itu mengincarku.”

“Karena kau menunggak bayar kos?”

“Astaga super sekali kalau benar begitu,” Muriel menjawab dengan bercanda.

“Karena ‘mereka’ mau menangkapku.”

Mereka? Tanpa mengatakannya Muriel paham kalau aku kebingungan.

“Contohnya, pria banci yang ada di atas rumah itu.”  Aku menoleh ke arah yang ditunjuk. Dan benar, ada seseorang di sana.

“T-tunggu dulu.” Aku familiar dengan sosok itu.

“Bukankah dia Keeper Apep?” Kataku kaget, baru kali ini aku melihatnya secara langsung. Fashionnya yang norak itu, kulit hitam yang begitu mencolok, tidak salah lagi!

“Hai Muriel~” Nada suaranya melengking tanda senang, Keeper Apep langsung turun dengan mudah di hadapan kami.

Apa yang kulihat nyata kan ?

Dia kenal Muriel? Kutoleh teman sekamarku itu, tapi ekspresinya kecut menatap pria itu.

“Sudah kuduga ini perbuatan kalian, apa yang kau mau?” Muriel tak menampakkan senyum sama sekali.

Aku tak mengerti apa yang terjadi, kalian yang dimaksud adalah para keeper ?.

“Ngg bagaimana ya, jelasnya aku diperintahkan oleh dia untuk menangkapmu~” Keeper Apep berkacak pinggang tampak centil.

Muriel, ditangkap? Apa Muriel kriminal? Terlalu banyak pertanyaan yang harus kulayangkan, tapi entah kenapa aku tak bisa bergerak, seakan ada yang menekan tubuhku. Tanpa sadar aku berkeringat dingin dan meneguk ludah gugup.

“Karena itu, jangan dendam pada me. Benarkan anak-anak?”

Aku menoleh ke sekitar dan kulihat puluhan singa sudah mengitari tempat kami. Atap, gang kanan, kiri, belakang, sejak kapan? Semua singa itu jantan dan sudah dewasa, surai-surainya berbeda dengan singa biasa karena samar terlihat kobaran api. Jelas sekali bahwa singa itu memiliki gen mutasi sehingga bisa memakai sihir, dan kutebak sihir yang mereka punya adalah sihir api. Ini gila, bahkan kebun binatang yang ada di dekat sini hanya menampung 5 singa dalam satu kandang, dimana mereka semua datang?.

Aku menempel pada Muriel, aku tahu walau Muriel bisa menaklukan Nyonya Evie yang lebih besar dari singa-singa ini,tapi melawan puluhan singa? Muriel tak akan mampu. Satu-satunya cara yang bisa kulakukan adalah kabur dengan teleportasi.

Bukan sombong, aku tak bisa bertarung tapi aku cukup pede dengan sihir teleportasi. Aku bisa membawa Muriel dan kabur sekitar satu—tidak, dua kilometer aku sanggup.

Tapi aku takut.

Apakah waktunya cukup?

Nyawaku bisa habis jika menjadi makanan mereka.

Butuh 1 menit untukku berkonsentrasi tak mungkin singa-singa itu diam dalam waktu 1 menit.

Sekali lagi aku ditakuti rasa takut untuk mati, melebihi saat diserang Nyonya Evie tadi. Pundakku kaku, mataku tak bisa tak menatap singa-singa yang mulai mendekat dengan tatapan penuh rasa lapar.

“Oi.”

Kaget, tiba-tiba Muriel menepuk pundakku di saat kami sudah semakin terpojok. Dia nampak heran melihatku, mungkin karena wajahku yang nampak pucat memikirkan bagaimana kita akan mati nanti.

Tapi setelahnya dia tertawa.

“Tenanglah,” Kurasakan wajah Muriel mendekat ke telingaku.

“Butuh waktu berapa menit?” katanya, dia satu pemikiran denganku.

“1 menit...” Jawabku tak bohong.

“Bagaimana caranya? Kau ingin menyetrum semua singa di sini?” Kataku, ini pemikiran paling logis.

Muriel begitu percaya diri tersenyum, sementara aku begitu khawatir karena sudah dipastikan kita akan mati di sini.

“Jangan takut...dari wajahmu kelihatan tuh.” Katanya enteng, menepuk sebentar pundakku yang terasa kaku. Sungguh, bagaimana Muriel bisa santai di santai di keadaan seperti ini. Mereka mungkin akan membunuhnya juga.

Mataku memandang punggungnya, tegap tak terlihat bahwa dia seorang wanita jika dari sini. Namun tiba-tiba mataku teralihkan ke arah anting kanan yang dia gunakan.

Sejak kapan warnanya berubah menjadi hijau?

Dan cahaya hijau itu tiba-tiba menyebar. Silau, aku menyipitkan mata karena tak tahan. Kejadiannya begitu cepat, setidaknya butuh 3 detik mataku untuk membiasakan diri dan memandang kearah sumber cahaya.

Dan aku begitu kaget melihat Muriel kini berdiri dengan panah panjang, yang paling mencolok adalah kristal hijaunya yang begitu besar, entah darimana asalanya.


“Akan kuselesaikan ini dengan cepat!” Katanya lantang tanpa ada rasa takut di sana.  

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Subscribe